Thursday, February 18, 2010

BAHAN CETAK ELASTOMER POLISULFIDA (Rubber-Base, Mercapta, Thiokol)

KOMPOSISI

Bahan ini terdiri atas dua pasta :
Pasta dasar mengandung :
  1. Suatu polisulfida
  2. Ini biasa disebut mercapta karena mengandung gugus –SH. Dua gugus ini berada di bagian ujung rantai sedangkan yang satu lagi tergantung.
    Suatu bahan pengisi sebanyak 11-54% terdiri dari berbagai bahan bukan zinc oksida dan kalsium fosfat seperti yang dilaporkan dalam literatur terdahulu; salah satu contoh bahan pengisi adalah titanium dioksida.
    Pasta dasar biasanya berwarna putih, ini disebabkan oleh warna bahan pengisi.
  3. Pasta pereaksi (kadang-kadang disebut pasta akselerator atau katalisator)

  4. Ini terbuat dari :
    • Lead dioksida (PbO2) ini menyebabkan polimerisasi dan cross-linking, oleh karena oksidasi gugus –SH. Pada salah satu produk terdapat garam kuprum.

    • Sulfur, yang memungkinkan terjadinya reaksi.

    • Minyak (suatu ester atau chlorinated parafin) untuk membuatnya menjadi pasta, tetapi bukan castor oil seperti yang diduga oleh beberapa orang.

    Pasta ini berwarna coklat, disebabkan oleh adanya lead dioksida.

SIFAT

  1. Elastisitas
  2. Semakin lama bahan cetak di dalam mulut sebelum dikeluarkan, semakin besar ketepatannya. Distorsi dapat diminimalkan karena sifat elastik dari bahan cetak karet ini. Deformasi elastik setelah peregangan yang terjadi pada bahan polisulfid lebih lambat pulih dibandingkan dengan 3 jenis bahan lainnya.
  3. Rheologi
  4. Polisulfid adalah bahan cetak elastometrik yang paling sedikit kekakuannya.
  5. Energi robek
  6. Polisulfid mempunyai ketahanan tertinggi terhadap robekan.
  7. Kestabilan dimensional
  8. Bahan karet memiliki kestabilan dimensi lebih baik bila disimpan di udara terbuka dibandingkan bahan cetak hidrokoloid. Namun, terbukti bahwa semua bahan mengalami perubahan dimensi dengan berlalunya waktu dan perubahan seperti itu lebih besar terjadi pada bahan cetak karet polisulfid dibandingkan dengan polieter dan elastomer silikon dengan polimerisasi tambahan.
  9. Biokompatibilitas
  10. Kemungkinan reaksi alergi atau toksik dari bahan cetak dan komponen-komponennya adalah kecil. Barangkali masalah biokompatibilatas akibat elastomer yang paling cenderung dapat terjadi adalah bila sebagian bahan cetak tertinggal di sulkus gingiva.
  11. Penanganan sendok cetak
  12. Cetakan polisulfid yang paling akurat dibuat dengan menggunakan sendok cetak perseorangan dari akrilik biasa (special/individual tray) untuk meminimalkan efek pengerutan polomerisasi. Hal ini berhubungan dengan meminimalkan jumlah bahan yang digunakan untuk membuat cetakan.

MANIPULASI

  1. Dengan panjang tertentu dari kedua pasta yang ditekan keluar dari tube kemasannya pada lembaran pengaduk atau kaca pengaduk. Kedua pasta ini diproduksi dalam viskositas bervariasi, dimana masing-masing dapat digabungkan dan dapat digunakan bersama. Pasta yang mempunyai viskositas rendah akan mencetak detail yang baik.

  2. Pasta katalis mula-mula dikumpulkan pada spatula tahan karat dan kemudian didistribusikan di atas pasta basis, dan diaduk di lembar pengadukan. Massa yang diperoleh dikumpulkan dengan bilah spatula dan kembali diaduk merata. Proses tersebut terus dilanjutkan sampai pasta adukan berwarna seragam, tanpa garis warna basis atau katalis pada adukan. Bila adukan tidak homogen, proses pengerasan tidak akan berlangsung seragam, dan diperoleh hasil cetakan yang mengalami distorsi. Mengikuti anjuran pabrik selalu disarankan.
    Bila bahan yang mengeras bergantung pada banyaknya regangan, begitu pula bahan yang tidak mengeras. Bahan cetak polisulfid yang bersifat ‘medium’ dan ‘heavy’ amatlah kental dan lengket. Sebagai akibatnya, pasta jenis tersebut menjadi sulit untuk diaduk. Namun, bila tekanan diberikan secukupnya dan pengadukan dilakukan dengan cepat, bahan tersebut akan terlihat lebih encer dan lebih mudah untuk ditangani. Gejala ini dikenal sebagai ‘pseudoplastisitas’.

  3. Setelah pengadukan, pasta mengalami polimerisasi secara lambat sampai proses pencetakan dalam mulut dimana proses polimerisasi akan dipercepat dengan adanya peningkatan suhu dan kelembaban. Untuk menjamin kesempurnaan polimerisasi, ketebalan bahan yang digunakan seharusnya tidak melebihi 2-3 mm.

  4. Cetakan tidak boleh dilepas dari mulut sampai sisa bahan yang ada pada mixing pad mengeras. Pelepasan sendok cetak seharusnya dilakukan dengan cepat untuk menjamin sifat elastis bahan dan dibiarkan selama 30 menit sebelum dilakukan pengisian dengan bahan model.

SETTING

Gugus –SH dapat dioksidasi oleh PbO2, menghasilkan rantai S–S.
Ini berarti bahwa pasta polisulfida akan :
  1. Polimerisasi lebih lanjut, disebabkan oleh oksidasi gugus ujung –SH.

  2. Cross-link, disebabkan oleh oksida gugus –SH yang tergantung; Telah ditunjukan bahwa elastomer membutuhkan sedikit cross-linking. Persentase cross-linking tergantung pada nilai m dan n pada formula polisulfida di atas, yaitu pada panjang awal rantai polisulfida.

MODIFIKASI

  1. Salah satu bahan untuk menghindari penggunaan PbO2 ialah menggantinya dengan suatu pereaksi organik seperti cumene hydroperoxide atau t-butyl hydroperoxide. Bahan ini mudah terbang sehingga hasil cetakan yang telah set dapat kontraksi disebabkan karena menguapnya bahan tersebut.

  2. Bahan polisulfida yang baru ditemukan menggantikan lead dioksida dengan zinc karbonat/organic accelerator system. Dinyatakan bahwa bahan ini jauh lebih bersih untuk ditangani daripada polisulfida biasa.

DAFTAR PUSTAKA
Annusavice, Kenneth J. 2003. Phillips: Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Combe, EC. 1992. Sari Dental Material. Penerjemah : Slamat Tarigan. Jakarta : Balai Pustaka

GONOREA DAN SIFILIS

GONOREA


Gonorea adalah infeksi menular seksual (IMS) paling tua yang pernah dilaporkan, sudah tersirat dalam laporan-laporan di Alkitab, literatur Hindu, dan papirus Mesir. Gonorea disebabkan oleh invasi bakteri diplokokus gram-negatif, Neisseria gonorrhoeae, yang pertama kali ditemukan dan diberi nama oleh ahli dermatologi Polandia, Albert Neisseria. Bakteri ini melekat dan menghancurkan membran sel epitel yang melapisi selaput lendir, terutama epitel yang melapisi kanalis endoserviks dan uretra. Injeksi ekstragenital di faring, anus, dan rektum dapat dijumpai pada kedua jenis kelamin. Untuk dapat menular, harus terjadi kontak langsung mukosa-ke-mukosa. Tidak semua orang yang terpajan ke gonorea akan terjangkit penyakit, dan resiko penularan dari laki-laki kepada perempuan lebih tinggi daripada penularan dari perempuan kepada laki-laki terutama karena lebih luasnya selaput lendir yang terpajan dan eksudat yang berdiam lama di vagina. Setelah terinokulasi, infeksi dapat menyebar ke prostat, vas deferens, vesikula seminalis, epididimis, dan testis pada laki-laki dan ke uretra, kelenjar Skene, kelenjar Bartholin, endometrium, tuba fallopii, dan rongga peritoneum, menyebabkan PID pada perempuan. PID adalah penyebab utama infertilitas pada perempuan. Infeksi gonokokus dapat menyebar melalui pembuluh darah, menimbulkan bakteremia gonokokus. Bakteremia dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan tetapi apabila dibandingkan lebh sering terjadi pada perempuan. Perempuan beresiko paling tinggi mengalami penyebaran infeksi pada saat haid. Penularan perinatal kepada bayi saat lahir, melalui os serviks yang terinfeksi, dapat menyebabkan konjungtivitis dan akhirnya kebutaan pada bayi apabila tidak diketahui dan diobati.

GEJALA DAN TANDA


Respons peradangan yang cepat disertai destruksi sel menyebabkan keluarnya sekret purulen kekuning-kehijauan khas dari uretra pada pria dan dari ostium serviks pada perempuan. Gejala dan tanda pada laki-laki dapat muncul sedini 2 hari setelah pajanan dan mulai dengan uretritis, diikuti oleh sekret purulen, disuriam dan sering berkemih serta malese. Sebagian besar laki-laki akan memperlihatkan gejala dalam 2 minggu setelah inokulasi oleh organisme ini. Walaupun sebagian besar laki-laki memperlihatkan gejala, namun sampai 10% tidak, tetapi mereka tetap mampu menularkan penyakitnya. Pada sebagian besar kasus, laki-laki akan segera berobat karena gejala yang mengganggu. Karena infeksinya cepat diketahui dan diterapi, maka jarang ada laki-laki yang mengalami prostatitis, epididimitis, atau bakteremia. Infeksi gonokokus lokal, pada laki-laki yang asimtomatik atau yang tidak diobati, biasanya akan diatasi oleh pertahanan alami tubuh dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Pada perempuan, gejala dan tanda timbul dalam 7 sampai 21 hari, dimulai dengan sekret vagina. Pada pemeiksaan, serviks yang terinfeksi tampak edematosa dan rapuh dengan drainase mukopurulen dari ostium.Infeksi N. gonorrhoeae tidak atau sedikit menimbulkan gejala pada 25% sampai 50% perempuan. Perempuan yang sedikit atau tidak memperlihatkan gejala menjadi sumber utama penyebaran infeksi dan beresiko mengalami penyulit. Apabila tidak diobati, maka tanda-tanda infeksi meluas biasanya mulai timbul dalam 10 sampai 14 hari. Tempat penyebaran tersering pada perempuan adalah ke uretra, dengan gejala uretritis, disuria, dan sering berkemih serta ke kelanjar Bartholin dan Skene yang menyebabkan pembengkakan dan nyeri. Infeksi yang menyebar ke endometrium dan tuba fallopii yang menyebar ke endometrium dan tuba fallopii menyebabkan perdarahan abnormal vagina, nyeri panggul dan abdomen, dan gejala-gejala PID progresif apabila tidak diobati.
Infeksi ekstragenital yang bersifat primer atau sekunder lebih sering dijumpai karena berubahnya praktik-praktik seks. Infeksi gonokokus di faring sering asimtomatik tetapi juga menyebabkan faringitis dengan eksudat mukopurulen, demam, dan limfadenopati leher. Infeksi gonokokus di perianus dan rektum mungkin asimtomatik, menimbulkan tidak nyaman dan gatal ringan, atau menimbulkan ekskoriasi dan nyeri perianus, serta sekret mukopurulen yang melapisi tinja dan dinding rektum. Bakteremia akibat infeksi gonokokus diseminata jarang dijumpai. Gejala dan tanda adalah berupa lesi kulit papular dan pustular di tangan dan kaki, poliatritis, dan peradangan tendon tangan dan kaki yang nyeri.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Gonorea dapat didiagnosis dengan cepat dengan pewarnaan gram terhadap apusan eksudat yang diambil dari tempat infeksi. Apusan positif apabila ditemukan diplokokus gram-begatif intrasel. Sayangnya, metode pewarnaan ini kurang andal untuk mendiagnosis gonorea pada perempuan, pasien asimtomatik, dan infeksi di rektum atau laring. Untik memastikan diagnosis harus dilakukan pembiakan dari semua kemungkinan tempat infeksi. Kuman memerlukan waktu 49-96 jam untuk tumbuh dalam biakan, dan berdasarkan anamnesis dan gejala, atau riwayat pajanan, terapi antibiotik biasanya sudah dimulai sebelum hasil diperoleh. Uji-uji amplifikasi DNA dengan menggunakan metode reaksi berantai polimerase (PCR) dan reaksi berantai ligase (LCR) lebih sensitif dibandingkan biakan bakteri dan dapat digunakan dengan sekret vagina atau serviks atau urin. Bagi laki-laki dengan infeksi uretra, uji-uji amplifikasi DNA dapat dilakukan pada spesimen urine untuk menghindari rasa tidak nyaman akibat pengambilan sediaan apusan dari uretra. Sayangnya, spesimen uretra tidak sespesifik pada perempuan dengan infeksi uretra. Infeksi klamidia yang sering menyertai infeksi gonorea dapat didiagnosis pada spesimen yang sama. Uji-uji amplifikasi DNA semakin banyak tersedia dan kemudahan dalam menangani dan mengirim spesimen. Uji-uji nonbiakan misalnya deteksi antigen (DFA) dan enzyme immunosorbent assay (EIA) kurang dikembangkan dan jarang digunakan.

TERAPI


Gonorea dapat disembuhkan dengan penisilin mulai tahun 1940an; namun, sekarang banyak berkembang galur-galur N. gonorrhoeae yang resisten-penisilin. Terapi yang saat ini direkomendasikan adalah golongan sefalosporin atau fluoroluinolon (CDC, 1998). Sayangnya, di banyak bagian dunia sudah dilaporkan adanya galur-galur N. gonorrhoeae yang resisten-fluorokuinolon (QRNG). Karena ancaman galur-galur N. gonorrhoeae yang resisten ini maka pada semua kasus yang tidak sembuh harus koinfeksi dengan C. trachomatis pada pasien dengan gonorea, maka dianjurkan pemberian terapi untuk kedua penyakit sekaligus. Dalam petunjuk-petunjuk CDC dapat dijumpai regimen-regimen terapi spesifik untuk gonorea, gonorea dan klamidia, gonorea faring dan rektum, gonorea pada perempuan hamil, dan gonorea pada pasien yang terinfeksi HIV (CDC, 1998). Semua kontak seksual pasien yang terinfeksi harus dievaluasi dan ditawarkan terapi profilaktik.


SIFILIS


Sifilis adalah infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh bakteri berbentuk spiral, Treponema pallidum. Kecuali penularan neonatus, sifilis hampir selalu ditularkan melalui kontak seksual dengan pasangan yang terinfeksi; namun spiroketa T. Pallidum dapat menembus sawar plasenta dan menginfeksi neonatus. Spiroketa memperoleh akses melalui kontak langsung antara lesi basah terinfeksi dengan setiap kerusakan, walaupun mikroskopik, di kulit atau mukosa penjamu. Sifilis dapat disembuhkan pada tahap-tahap awal infeksi, tetapi apabila dibiarkan penyakit ini dapat menjadi infeksi yang sistemik dan kronik. Infeksi sifilis dibagi menjadi tiga fase: primer, sekunder, termasuk sifilis laten dini dan lanjut; dan tersier. Setiap fase memiliki tanda dan gejala tersendiri.

GEJALA DAN TANDA


Sifilis Primer
Biasanya manifestasi klinis awal sifilis adalah papul soliter di tempat invasi yang timbul dalam 10 sampai 90 hari setelah terpajan. Dalam satu sampai beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus merah, indolen (tidak nyeri), dan berbatas tegas yang disebut chancre dan dipenuhi oleh spirokaeta. Chancre yang sangat menular ini memiliki ukuran beragam dari beberapa milimeter sampai lebih dari 2 cm. Chancre dapat ditemukan dimana saja tetapi paling sering di penis, anus, dan rektum pada laki-laki, dan vulva, perineum, dan serviks pada perempuan. Pada sifilis primer sering dijumpai limfadenopati indolen yang ipsilateral terhdap chancre. Chancre ekstragenital paling sering ditemukan di rongga mulut, jari tangan, dan payudara. Chancre sembuh spontan dalam 4 sampai 6 minggu.
Sifilis Sekunder
Apabila tidak diobati, tanda-tanda sifilis sekunder akan timbul dalam 2 sampai 6 bulan setelah pajanan. Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik dengan spirokaeta yang menyebar dari chancre dan kelenjar limfe ke aliran darah dan ke seluruh tubuh, menimbulkan veragam gejala yang jauh dari lokasi infeksi semula. Sistem yang paling sering terkena adalah kulit, limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata, dan SSP. Tanda tersering pada sifilis sekunder adalah ruam kulit makulopapular yang terjadi pada 80% kasus. Lesi biasanya simetrik, tidak gatal, dan mungkin meluas; lesi di telapak tangan dan kaki merupakan gambaran yang paling khas.
Lesi lain dapat muncul sebagai ulkus seperfisial di mukosa oral dan genital dan sebagai kondilomata lata, suatu lesi mirip-kutil yang datar di genitalia. Semua lesi sifilis sekunder menular dan dapat menyebabkan penyakit melalui kontak. Gejala dan tanda lain pada sifilis sekunder adalah limfadenopati, uveitis, malese, demam ringan, nyeri kepala, anoreksia, penurunan berat badan, alopesia, serta nyeri tulang dan sendi. Lesi sifilis sekunder sembuh spontan dalam 2 sampai 6 minggu, dan mulailah masa laten.
Masa laten adalah tahap saat pasien memberi hasil positif pada uji serologis untuk sifilis, tetapi secara klinis asimtomatik dan hasil uji laboratorium terhadap cairan serebrospinalis (CSF) normal. Periode sifilis laten dini dibatasi sebagai waktu dari sembuhnya gejala dan tanda sifilis sekunder sampai 1 tahun setelah awal infeksi. Selama masa laten dini, dapat terjadi relaps sifilis sekunder yang menular. Relaps ini dapat terus timbul sampai selama 5 tahun setelah infeksi pada 25% pasien. Delapan puluh lima persen relaps menimbulkan lesi-lesi mukokutis. Periode sifilis laten lanjut adalah dari 1 tahun pasca-infeksi atau sampai gejala sifilis tersier mulai muncul. Klasifikasi masa laten dini dan lanjut penting untuk keperluan pengobatan.
Sifilis Tersier
Beberapa tahun sampai beberapa dekade setelah awal infeksi, dapat timbul tiga bentuk sifilis tersier: sifilis tersier jinak pada kulit, tulang, dan visera; sifilis kardiovaskulat; dan neurosifilis. Sekitar 30% pasien sifilis primer dan sekunder yang tidak diobati akan mengalami sifilis tersier. Sifilis tersier jinak ditandai oleh timbulnya guma, yaitu masa nodular kecil jaringan granulasi dengan bagian tengah mengalami nekrosis dikelilingi oleh sedikit peradangan. Guma dapat timbul dimana saja, termasuk kulit, tulang, selaput lendir, mata, visera, dan SSP. Biasanya secara bersamaan terjadi peradangan aktif disertai pembentukan lesi-lesi baru dan jaringan parut di satu tempat atau lebih.
Terdapat tiga bentuk sifilis kardiovaskular simtomatik: inusifisiensi katup aorta, dan stenosis ostium koroner. Gejala timbul 10 sampai 40 tahun setelah infeksi. Pada masa praantibiotik, penyulit kardiovaskular simtomatik terjadi pada sekitar 10% orang yang mengidap sifilis lanjut tanpa diobati.
Neurosifilis pada dasarnya suatu meningitis kronik yang mula-mula mungkin asimtomatik. Kategori-kategori utama neurosifilis simtomatik adalah sifilis meningen, sifilis meningovaskular, dan sifilis parenkimatosa (yang mencakup paresis generalisa dan tabes dorsalis). Waktu rata-rata dari infeksi sampai awitan gejala untuk sifilis meningen biasanya kurang dari 1 tahun, 7 tahun untuk sifilis meningovaskular, 20 tahun untuk paresis generalisata, dan 25 sampai 30 tahun untuk tabes dorsalis. Sifilis meningen dapat mengenai otak atau korda spinalis, dan pasien mungkin datang dengan nyeri kepala, rasa bergoyang, hilangnya daya ingat, perubahan kepribadian, afasia, dan kejang. Sifilis meningovaskular mencerminkan peradangan difus pia mater dan araknoid disertai tanda-tanda keterlibatan lokal dan generalista pembuluh-pembuluh darah otak – gambaran tersering adalah sindrom stroke yang mengenai arteri serebri media yang didahului oleh gejala-gejala ensefalitis berupa nyeri kepala, vertigo, insomnia, dan gangguan psikologik. Sindrom neurosifilis parenkimatosa mencerminkan kerusakan luas pada parenkim otak (paresis generalista) dan kelainan yang sesuai dengan singkatan PARESIS : Personality, Affect (instabilitas emosi, iritabilitas), Reflexes (hiperaktif), Eye (pupil Argyll Robertson), Sensorium (halusinasi, ilusi, delusi), Intelect (memburuknya daya ingat jangka-pendek, kemampuan orientasi, menghitung, dan menilai), dan Speech. Tabes dorsalis menimbulkan gejala dan tanda demielinisasi kolumna porterior, radiks dorsalis, dan ganglion radiks dorsalis yang menimbulkan ataksia trunkal disertai ayunan langkah yang lebar, hilangnya sensasi posisi, dan foot-slapping (‘langkah ayam’); juga terjadi disfungsi kandung kemih dan impotensi, arefleksia, nyeri visera yang hebat, dan paratesia. Tabes juga sering disertai atrofi optikus yang menyebabkan kebutaan. Pupil yang kecil dan ireguler (pupil Argyll Robertson), suatu ciri pada paresis generalista dan tabes dorsalis, bereaksi terhadap cahaya tetapi tanpa akomodasi. Untungnya, sifilis tersier sudah jarang dijumpai sejak ditemukannya penisilin.
Sifilis Kongenital
Treponema pallidum dapat menembus plasenta dari ibu, menginfeksi janin sehingga menyebabkan sifilis kongenital. Banyak bayi dengan sifilis kongenital tidak memperlihatkan gejala infeksi yang jelas dan didiagnosis berdasarkan riwayat ibu dan pemeriksaan serologik. Sifilis kongenital simtomatik pada bayi dalam banyak hal analog dengan sifilis stadium sekunder. Gambaran klinis yang muncul pada 2 tahun pertama kehidupan dianggap sebagai dini, dan yang timbul setelah usia 2 tahun dianggap lanjut. Gejala dan tanda pada sifilis kongenital dini adalah sumbatan hidung, bercak pada mukosa, serta ruam makulopapular dan kondiloma lata. Lesi di tulang pada sifilis kongenital dini dapat dilihat pada pemeriksaan radiologik. Apabila infeksinya parah, dapat terjadi kelainan visera, SSP, dan hematologik. Uji erologik mungkin nonreaktif pada bayi yang terinfeksi pada akhir masa kehamilan ibunya. Manifestasi sifilis kongenital lanjut adalah keratitis interstisium, gigi Hutchinson (insisivus lateral runcing dan insisivus sentral bertakik), tuli, osteitis, deformitas tulang, guma, dan neurosifilis. Apabila tidak diobati, sampai 40% bayi dengan sifilis kongenital akan meninggal.

PEMERIKSAAN DIAGNOSIS


Diagnosis dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap terhadap eksudat dari chancre pada sifilis primer dan lesi mukokutis pada sifilis sekunder serta uji antibodi fluoresen langsung merupakan metode-metode definitif untuk mendiagnosis sifilis. Namun, uji serologik lebih mudah dilakukan, ekonomis, dan paling sering dilakukan. Terdapat dua uji serologik : (1) uji nontreponema, termasuk uji Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan rapid plasma reagin (RPR), dan (2) uji treponema, termasuk uji fluorescent treponemal antibody-absorbed (FTA-ABS)
TERAPI
Penisilin G parenteral adalah obat pilihan untuk semua stadium sifilis. Dosis dan lama pemberian obat bergantung pada stadium dan manifestasi klinis penyakit.


SUMBER :
Price, Sylvia A, et all. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC