Tuesday, October 19, 2010

OPERKULEKTOMI (PERICORONAL FLAP)

Alat dan Bahan :
1. Alat dasar : kaca mulut, sonde, pinset KG, dan eskavator
2. Pinset chirurgis
3. Glass plate
4. Akuades steril dan spuit
5. Cotton roll dan tempat
6. Alkohol 70% dan tempat
7. Betadine antiseptik
8. Neir beiken
9. Semen spatel
10. Tampon dan tempat
11. Cotton pelet dan tempat
12. Periodontal probe
13. Periodontal pack (dressing)
14. Gunting
15. Scalpel



Operkulektomi atau pericoronal flap adalah pembuangan operkulum secara bedah.
Perawatan perikororonitis tergantung pada derajat keparahan inflamasinya. Komplikasi sistemik yang ditimbulkan dan pertimbangan apakah gigi yang terlibat nantinya akan dicabut atau dipertahankan. Selain itu hal yang perlu diperhatikan dan adalah faktor usia dan kapan dimulai adanya keluhan. Perlu adanya observasi mengenai hal tersebut karena jika usia pasien adalah usia muda dimana gigi terakhir memang waktunya untuk erupsi dan mulai keluhan baru saja terjadi, maka operkulektomi sebaiknya tidak dilakukan dulu.
Kondisi akut merupakan kontraindikasi dilakukannya operkulektomi, namun tindakan emergensi dapat dilakukan hingga kondisi akut dapat ditanggulangi kemudian keadaan dievaluasi untuk dapat melakukan operkulektomi


Teknik :
1. Menentukan perluasan dan keparahan struktur jaringan yangterlibat serta komplikasi toksisitas sistemik yang ditimbulkan.

2. Menghilangkan debris dan eksudat yang terdapat pada permukaan operkulum dengan aliran air hangat atau aquades steril.


3. Usap dengan antiseptik.

4. Operkulum/pericoronal flap diangkat dari gigi dengan menggunakan scaler dan debris di bawah operkulum dibersihkan.

5. Irigasi dengan air hangat/aquades steril.
Catatan :
Pada kondisi akut sebelum dilakukan pembersihan debris dapat diberikan anastesi topikal. Pada kondisi akut juga tidak boleh dilakukan kuretase maupun surgikal.
Bila operkulum membengkak dan terdapat fluktuasi, lakukan insisi guna mendapatkan drainase. Bila perlu pasang drain dan pasien diminya datang kembali setelah 24 jam guna melepas/mengganti drainnya.
Jika kondisi akut, maka perawatan selanjutnya diberikan di kunjungan kedua. Pasien diinstruksikan agar :
a. Kumur-kumur air hangat tiap 1 jam
b. Banyak istirahat
c. Makan yang banyak dan bergizi
d. Menjaga kebersihan mulutnya
Pemberian antibiotik dapat dilakukan jika diperlukan (bila ada gejala-gejala konstisional dan kemungkinan adanya penyebaran infeksi). Demikian pula analgesik dapat diberikan kepada pasien jika diperlukan.
Kondisi pasien kemudian dievaluasi di kunjungan berikutnya dan dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya bila kondisi pasien telah membaik dan keadaan akut telah reda.

6. Cek pocket periodontal yang ada untuk mengetahui apakah tipe pocket (false pocket atau true pocket). Lakukan probing debt pada semua sisi.

7. Anastesi daerah yang ingin dilakukan operkulektomi. Anastesi tidak perlu mencapai sampai tulang, hanya sampai periosteal.

8. Lakukan operkulektomi (eksisi periodontal flap) dengan memotong bagian distal M3.
Jaringan di bagian distal M3 (retromolar pad) perlu dipotong untuk menghindari terjadinya kekambuhan perikoronitis. Ambil seadekuat mungkin. Penjahitan dilakukan jika trauma terlalu besar atau bleeding terlalu banyak.
Teknik operkulektomi yang lain dapat dilakukan secara partial thickness mucogingival flap pada daerah lingual. Untuk daerah bukal juga dibuat insisi partial thickness flap dengan meninggalkan selapis jaringan. Partial thickness flap adalah flap yang dibuat dengan jalan menyingkap hanya sebagian ketebalan jaringan lunak yakni epitel dan selapis jaringan ikat, tulang masih ditutupi jaringan ikat termasuk periosteum. Indikasi untuk dilakukannya teknik ini adalah flap yang akan ditempatkan ke arah apikal atau operator tidak bermaksud membuka tulang. Setelah dilakukan flap dapat dilakukan eksisi seluruh jaringan retromolar pad kemudian menyatukan flap bukal dan lingual dengan melakukan penjahitan.

9. Bersihkan daerah operasi dengan air hangat/aquades steril.

10. Keringkan agar periodontal pack yang akan diaplikasikan tidak mudah lepas.

11. Aplikasikan periodontal pack.
Penggunaan periodontal pack bukan medikasi, namun menutupi luka (dressing) agar proses penyembuhan tidak terganggu. Dressing periodontal dulu mengandung zinc-oxide eugenol, namun sekarang kurang disukai karena dapat mengiritasi. Karena alasan itu, sekarang ini digunakan bahan dressing periodontal bebas eugenol. Dalam mengaplikasikannya harus hati-hati sehingga dapat menutupi daerah luka dan mengisi seluruh ruang interdental karena di situlah letak retensinya. Pada daerah apikal, periodontal pack diaplikasikan jangan melebihi batas epitel bergerak dan epitel tak bergerak dan mengikuti kontur. Pada daerah koronal jangan sampai mengganggu oklusi. Dengan demikian, retensi periodontal pack menjadi baik.

12. Instuksikan pada pasien agar datang kembali pada kunjungan berikutnya (kalau tidak ada keluhan, satu minggu kemudian)

13. Pada kunjungan berikutnya, pack dibuka dan dievaluasi keadaannya.



Sumber :
http://toothportal.co.uk/page_attachments/0000/0267/Pericoronitis.jpg
http://www.smilesonunionsquare.com/initial_visit/images/initial_09_4.jpg
Manson, J.D dan B.M Eley. 1993. Buku Ajar Periodonti Edisi 2. Jakarta: Hipokrates
Tim Penyusun Periodonsia. Buku Praktikum Periodonsia FKG Unej

Thursday, June 3, 2010

Occlusion Feature Index (OFI)

Sumber : Dewanto, Harkati . 1993. Aspek-aspek Epidemiologi Maloklusi. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.

Indeks ini telah dikembangkan oleh National Institute of Dental Research pada tahun 1957 dan telah ditetapkan dan dievaluasi oleh Poultman dan Aaronson (1960) dalam penelitiannya. Ciri-ciri maloklusi yang dinilai dengan metode ini ialah: letak gigi berjejal, kelainan interdigitasi tonjol gigit posterior, tumpang gigit, jarak gigit. Kriteria penilaiannya dengan memberi skor sebagai berikut:
OFI (1) Gigi berjejal depan bawah
0 : susunan letak gigi rapi
2 : letak gigi berjejal sama dengan ½ lebar gigi insisivus satu kanan bawah
3 : letak gigi berjejal sama dengan lebar gigi insisivus satu kanan bawah

OFI (2) Interdigitasi tonjol gigi dilihat pada regio gigi premolar dan molar sebelah kanan dari arah bukal dalam keadaan oklusi
0 : hubungan tonjol lawan lekuk
1 : hubungan antara tonjol dan lekuk
2 : hubungan antara tonjol lawan tonjol

OFI (3) Tumpang gigit, ukuran panjang bagian insisal gigi insisivus bawah yang tertutup gigi insisivus atas pada keadaaan oklusi
0 : 1/3 bagian insisal gigi insisivus bawah
1 : 2/3 bagian insisal gigi insisivus bawah
2 : 1/3 bagian gingival gigi insisivus bawah

OFI (4) Jarak gigit, jarak dari tepi labio-insisal gigi insisivus atas ke permukaan labial gigi insisivus atas ke permukaan labial gigi insisivus bawah pada keadaan oklusi
0 : 0-1,5 mm
1 : 1,5-3 mm
2 : 3 mm atau lebih


Skor total didapat dengan menjumlahkan skor keempat macam ciri utama maloklusi tersebut di atas. Skor OFI setiap individu berkisar antara 0-9 karena pada OFI (1) nilai maksimumnya 3 dan OFI (2), (3), (4) masing-masing nilai maksimumnya 2.

Penilaian dapat dilakukan pada model gigi atau langsung dalam mulut. Waktu yang diperlukan untuk menilai hanya kurang lebih 1-1½ menit bagi setiap individu.
Keuntungan metode ini adalah sederhana dan obyektif serta tidak memerlukan peralatan diagnostik yang rumit seperti model gnathostatik dan alat sefalometri. Selain itu apabila peneliti telah terlatih hanya memerlukan waktu penilaian yang singkat.

Kerugiannya adalah dalam menilai interdigitasi tonjol hanya memeriksa hubungan gigi posterior atas dan bawah sebelah kanan saja, sebelah kiri tidak dinilai. Selain itu penilaian gigi berjejal depan bawah memerlukan latihan terlebih dahulu karena untuk menentukan besarnya skor membutuhkan waktu untuk mengukur lebar mesio-distal gigi-gigi anterior bawah dan mengukur panjang lengkung gigi depan bawah. Jadi metode ini kurang praktis.

Poulton dan Aaranson (1960) telah mengevaluasi metode ini dan dari hasil penelitiannya terbukti bahwa penilaian keparahan maloklusi oleh ahli ortodonti secara subyektif dan penilaian oleh dokter ahli kesehatan masyarakat memakai OFI hasilnya sangat mendekati (hampir sama).
Kriteria penilaian maloklusi oleh ahli ortodonti sebagai berikut:
Skor 0-1 : Maloklusi ringan sekali (slight)
Tidak memerlukan perawatan ortodonti
Skor 1-3 : Maloklusi ringan (mild)
Ada sedikit variasi dari oklusi ideal yang tidak perlu dirawat
Skor 4-5 : Maloklusi sedang (moderate)
Indikasi perawatan ortodonti
Skor 6-9 : Maloklusi berat/parah (severe)
Sangat memerlukan perawatan ortodonti
Penilaian ini yang berdasarkan atas perlunya perawatan, tidak dapat diterapkan pada kelompok populasi yang lebih besar, tetapi meskipun demikian ternyata erat hubungannya dengan skor OFI.

Wednesday, March 3, 2010

Osteonekrosis dan Ankilosis Temporomandibular Joints (TMJ) pada Juvenile Onset Systemic Lupus Erythematosus (JSLE)

Osteonekrosis adalah salah satu komplikasi yang sangat dikenal pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Resiko utama dari osteonekrosis adalah pengobatan kortikosteroid pada dosis lebih dari 10 mg/hari untuk 6 bulan atau lebih. Untuk kasus osteonekrosis pada TMJ pada literatur-literatur hanya sedikit kasus yang terjadi, terutama pada anak-anak. Pada contoh kasus ini, dideskripsikan bahwa seorang pasien dengan Juvenile SLE yang menyebabkan osteonekrosis dan ankilosis pada kondile mandibula secara bilateral dengan tingkat keparahan yang berat pada perusakan fungsi yang membutuhkan pengobatan bedah. Kasus ini terjadi pada anak perempuan berumur 11 tahun yang didiagnosa dengan JSLE dengan pengobatan steroid kronik yang dapat menimbulkan osteonekrosis pada kedua kondile mandibula dengan ankilosis TMJ dengan hanya 3 mm jarak interdental.

Maksimal pembukaan mulut, hanya 3 mm jarak interdental

Studi pada penggambaran kasus memperkenankan re-evaluasi serial pada tulang, meniskus diskus, struktur jaringan lunak, dan hubungan fungsional di antaranya yang sangat berharga untuk diketahui. Metode yang paling bermanfaat untuk mengevaluasi TMJ adalah MRI diikuti oleh 3D CT Scan. Lesi pada studi gambar tersebut akan membantu pengambilan keputusan untuk pengobatan dan diharapkan didapatkan pengobatan dengan hasil yang terbaik.

Gambaran TMJ dengan 3D CT Scan pada kasus JSLE

Gambaran TMJ dengan MRI pada kasus JSLE


Pada gambaran tersebut dapat dijelaskan bahwa fossa glenoid mengalami lesi atau kerusakan, sehingga pasien mengalami kesulitan membuka mulut. TMJ mengalami osteonekrosis dan bukan Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) yang sebelumnya menjadi diagnosis banding dari kasus ini. Kesimpulan osteonekrosis didapatkan dari :
  1. Periode yang pendek dari waktu antara gejala keterlibatan TMJ dan penemuan radiologikal.

  2. Fakta bahwa anak-anak tidak memiliki poliartritis kronik atau perubahan radiografik pada TMJ tercatat frekuensi pasien JSLE lebih sedikit terjadi daripada pasien SLE dewasa dan osteonekrosis pada kondile mandibula dilaporkan jarang terjadi pada anak-anak.

Selain dari pemeriksaan radiografi, secara klinis ditemukan bahwa kesulitan mengunyah dan bunyi clicking pada setiap pergerakan rahang. Seperti dijelaskan di atas, pasien dengan JSLE tersebut mengalami pengobatan kortikosteroid lebih dari dua tahun yang memungkinkankan osteonekrosis pada kondile, karena pengobatan kortikosteroid dipertimbangkan sebagai faktor resiko paling penting dalam kehilangan massa tulang.


Sumber : RJ, Cuttica, Marcantoni MB, Laham M. 2005. Case Report : Osteonecrosis and ankylosis of temporomandibular joints (TMJ) in juvenile onset systemic lupus erythematosus (JSLE).

Thursday, February 18, 2010

BAHAN CETAK ELASTOMER POLISULFIDA (Rubber-Base, Mercapta, Thiokol)

KOMPOSISI

Bahan ini terdiri atas dua pasta :
Pasta dasar mengandung :
  1. Suatu polisulfida
  2. Ini biasa disebut mercapta karena mengandung gugus –SH. Dua gugus ini berada di bagian ujung rantai sedangkan yang satu lagi tergantung.
    Suatu bahan pengisi sebanyak 11-54% terdiri dari berbagai bahan bukan zinc oksida dan kalsium fosfat seperti yang dilaporkan dalam literatur terdahulu; salah satu contoh bahan pengisi adalah titanium dioksida.
    Pasta dasar biasanya berwarna putih, ini disebabkan oleh warna bahan pengisi.
  3. Pasta pereaksi (kadang-kadang disebut pasta akselerator atau katalisator)

  4. Ini terbuat dari :
    • Lead dioksida (PbO2) ini menyebabkan polimerisasi dan cross-linking, oleh karena oksidasi gugus –SH. Pada salah satu produk terdapat garam kuprum.

    • Sulfur, yang memungkinkan terjadinya reaksi.

    • Minyak (suatu ester atau chlorinated parafin) untuk membuatnya menjadi pasta, tetapi bukan castor oil seperti yang diduga oleh beberapa orang.

    Pasta ini berwarna coklat, disebabkan oleh adanya lead dioksida.

SIFAT

  1. Elastisitas
  2. Semakin lama bahan cetak di dalam mulut sebelum dikeluarkan, semakin besar ketepatannya. Distorsi dapat diminimalkan karena sifat elastik dari bahan cetak karet ini. Deformasi elastik setelah peregangan yang terjadi pada bahan polisulfid lebih lambat pulih dibandingkan dengan 3 jenis bahan lainnya.
  3. Rheologi
  4. Polisulfid adalah bahan cetak elastometrik yang paling sedikit kekakuannya.
  5. Energi robek
  6. Polisulfid mempunyai ketahanan tertinggi terhadap robekan.
  7. Kestabilan dimensional
  8. Bahan karet memiliki kestabilan dimensi lebih baik bila disimpan di udara terbuka dibandingkan bahan cetak hidrokoloid. Namun, terbukti bahwa semua bahan mengalami perubahan dimensi dengan berlalunya waktu dan perubahan seperti itu lebih besar terjadi pada bahan cetak karet polisulfid dibandingkan dengan polieter dan elastomer silikon dengan polimerisasi tambahan.
  9. Biokompatibilitas
  10. Kemungkinan reaksi alergi atau toksik dari bahan cetak dan komponen-komponennya adalah kecil. Barangkali masalah biokompatibilatas akibat elastomer yang paling cenderung dapat terjadi adalah bila sebagian bahan cetak tertinggal di sulkus gingiva.
  11. Penanganan sendok cetak
  12. Cetakan polisulfid yang paling akurat dibuat dengan menggunakan sendok cetak perseorangan dari akrilik biasa (special/individual tray) untuk meminimalkan efek pengerutan polomerisasi. Hal ini berhubungan dengan meminimalkan jumlah bahan yang digunakan untuk membuat cetakan.

MANIPULASI

  1. Dengan panjang tertentu dari kedua pasta yang ditekan keluar dari tube kemasannya pada lembaran pengaduk atau kaca pengaduk. Kedua pasta ini diproduksi dalam viskositas bervariasi, dimana masing-masing dapat digabungkan dan dapat digunakan bersama. Pasta yang mempunyai viskositas rendah akan mencetak detail yang baik.

  2. Pasta katalis mula-mula dikumpulkan pada spatula tahan karat dan kemudian didistribusikan di atas pasta basis, dan diaduk di lembar pengadukan. Massa yang diperoleh dikumpulkan dengan bilah spatula dan kembali diaduk merata. Proses tersebut terus dilanjutkan sampai pasta adukan berwarna seragam, tanpa garis warna basis atau katalis pada adukan. Bila adukan tidak homogen, proses pengerasan tidak akan berlangsung seragam, dan diperoleh hasil cetakan yang mengalami distorsi. Mengikuti anjuran pabrik selalu disarankan.
    Bila bahan yang mengeras bergantung pada banyaknya regangan, begitu pula bahan yang tidak mengeras. Bahan cetak polisulfid yang bersifat ‘medium’ dan ‘heavy’ amatlah kental dan lengket. Sebagai akibatnya, pasta jenis tersebut menjadi sulit untuk diaduk. Namun, bila tekanan diberikan secukupnya dan pengadukan dilakukan dengan cepat, bahan tersebut akan terlihat lebih encer dan lebih mudah untuk ditangani. Gejala ini dikenal sebagai ‘pseudoplastisitas’.

  3. Setelah pengadukan, pasta mengalami polimerisasi secara lambat sampai proses pencetakan dalam mulut dimana proses polimerisasi akan dipercepat dengan adanya peningkatan suhu dan kelembaban. Untuk menjamin kesempurnaan polimerisasi, ketebalan bahan yang digunakan seharusnya tidak melebihi 2-3 mm.

  4. Cetakan tidak boleh dilepas dari mulut sampai sisa bahan yang ada pada mixing pad mengeras. Pelepasan sendok cetak seharusnya dilakukan dengan cepat untuk menjamin sifat elastis bahan dan dibiarkan selama 30 menit sebelum dilakukan pengisian dengan bahan model.

SETTING

Gugus –SH dapat dioksidasi oleh PbO2, menghasilkan rantai S–S.
Ini berarti bahwa pasta polisulfida akan :
  1. Polimerisasi lebih lanjut, disebabkan oleh oksidasi gugus ujung –SH.

  2. Cross-link, disebabkan oleh oksida gugus –SH yang tergantung; Telah ditunjukan bahwa elastomer membutuhkan sedikit cross-linking. Persentase cross-linking tergantung pada nilai m dan n pada formula polisulfida di atas, yaitu pada panjang awal rantai polisulfida.

MODIFIKASI

  1. Salah satu bahan untuk menghindari penggunaan PbO2 ialah menggantinya dengan suatu pereaksi organik seperti cumene hydroperoxide atau t-butyl hydroperoxide. Bahan ini mudah terbang sehingga hasil cetakan yang telah set dapat kontraksi disebabkan karena menguapnya bahan tersebut.

  2. Bahan polisulfida yang baru ditemukan menggantikan lead dioksida dengan zinc karbonat/organic accelerator system. Dinyatakan bahwa bahan ini jauh lebih bersih untuk ditangani daripada polisulfida biasa.

DAFTAR PUSTAKA
Annusavice, Kenneth J. 2003. Phillips: Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Combe, EC. 1992. Sari Dental Material. Penerjemah : Slamat Tarigan. Jakarta : Balai Pustaka

GONOREA DAN SIFILIS

GONOREA


Gonorea adalah infeksi menular seksual (IMS) paling tua yang pernah dilaporkan, sudah tersirat dalam laporan-laporan di Alkitab, literatur Hindu, dan papirus Mesir. Gonorea disebabkan oleh invasi bakteri diplokokus gram-negatif, Neisseria gonorrhoeae, yang pertama kali ditemukan dan diberi nama oleh ahli dermatologi Polandia, Albert Neisseria. Bakteri ini melekat dan menghancurkan membran sel epitel yang melapisi selaput lendir, terutama epitel yang melapisi kanalis endoserviks dan uretra. Injeksi ekstragenital di faring, anus, dan rektum dapat dijumpai pada kedua jenis kelamin. Untuk dapat menular, harus terjadi kontak langsung mukosa-ke-mukosa. Tidak semua orang yang terpajan ke gonorea akan terjangkit penyakit, dan resiko penularan dari laki-laki kepada perempuan lebih tinggi daripada penularan dari perempuan kepada laki-laki terutama karena lebih luasnya selaput lendir yang terpajan dan eksudat yang berdiam lama di vagina. Setelah terinokulasi, infeksi dapat menyebar ke prostat, vas deferens, vesikula seminalis, epididimis, dan testis pada laki-laki dan ke uretra, kelenjar Skene, kelenjar Bartholin, endometrium, tuba fallopii, dan rongga peritoneum, menyebabkan PID pada perempuan. PID adalah penyebab utama infertilitas pada perempuan. Infeksi gonokokus dapat menyebar melalui pembuluh darah, menimbulkan bakteremia gonokokus. Bakteremia dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan tetapi apabila dibandingkan lebh sering terjadi pada perempuan. Perempuan beresiko paling tinggi mengalami penyebaran infeksi pada saat haid. Penularan perinatal kepada bayi saat lahir, melalui os serviks yang terinfeksi, dapat menyebabkan konjungtivitis dan akhirnya kebutaan pada bayi apabila tidak diketahui dan diobati.

GEJALA DAN TANDA


Respons peradangan yang cepat disertai destruksi sel menyebabkan keluarnya sekret purulen kekuning-kehijauan khas dari uretra pada pria dan dari ostium serviks pada perempuan. Gejala dan tanda pada laki-laki dapat muncul sedini 2 hari setelah pajanan dan mulai dengan uretritis, diikuti oleh sekret purulen, disuriam dan sering berkemih serta malese. Sebagian besar laki-laki akan memperlihatkan gejala dalam 2 minggu setelah inokulasi oleh organisme ini. Walaupun sebagian besar laki-laki memperlihatkan gejala, namun sampai 10% tidak, tetapi mereka tetap mampu menularkan penyakitnya. Pada sebagian besar kasus, laki-laki akan segera berobat karena gejala yang mengganggu. Karena infeksinya cepat diketahui dan diterapi, maka jarang ada laki-laki yang mengalami prostatitis, epididimitis, atau bakteremia. Infeksi gonokokus lokal, pada laki-laki yang asimtomatik atau yang tidak diobati, biasanya akan diatasi oleh pertahanan alami tubuh dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Pada perempuan, gejala dan tanda timbul dalam 7 sampai 21 hari, dimulai dengan sekret vagina. Pada pemeiksaan, serviks yang terinfeksi tampak edematosa dan rapuh dengan drainase mukopurulen dari ostium.Infeksi N. gonorrhoeae tidak atau sedikit menimbulkan gejala pada 25% sampai 50% perempuan. Perempuan yang sedikit atau tidak memperlihatkan gejala menjadi sumber utama penyebaran infeksi dan beresiko mengalami penyulit. Apabila tidak diobati, maka tanda-tanda infeksi meluas biasanya mulai timbul dalam 10 sampai 14 hari. Tempat penyebaran tersering pada perempuan adalah ke uretra, dengan gejala uretritis, disuria, dan sering berkemih serta ke kelanjar Bartholin dan Skene yang menyebabkan pembengkakan dan nyeri. Infeksi yang menyebar ke endometrium dan tuba fallopii yang menyebar ke endometrium dan tuba fallopii menyebabkan perdarahan abnormal vagina, nyeri panggul dan abdomen, dan gejala-gejala PID progresif apabila tidak diobati.
Infeksi ekstragenital yang bersifat primer atau sekunder lebih sering dijumpai karena berubahnya praktik-praktik seks. Infeksi gonokokus di faring sering asimtomatik tetapi juga menyebabkan faringitis dengan eksudat mukopurulen, demam, dan limfadenopati leher. Infeksi gonokokus di perianus dan rektum mungkin asimtomatik, menimbulkan tidak nyaman dan gatal ringan, atau menimbulkan ekskoriasi dan nyeri perianus, serta sekret mukopurulen yang melapisi tinja dan dinding rektum. Bakteremia akibat infeksi gonokokus diseminata jarang dijumpai. Gejala dan tanda adalah berupa lesi kulit papular dan pustular di tangan dan kaki, poliatritis, dan peradangan tendon tangan dan kaki yang nyeri.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Gonorea dapat didiagnosis dengan cepat dengan pewarnaan gram terhadap apusan eksudat yang diambil dari tempat infeksi. Apusan positif apabila ditemukan diplokokus gram-begatif intrasel. Sayangnya, metode pewarnaan ini kurang andal untuk mendiagnosis gonorea pada perempuan, pasien asimtomatik, dan infeksi di rektum atau laring. Untik memastikan diagnosis harus dilakukan pembiakan dari semua kemungkinan tempat infeksi. Kuman memerlukan waktu 49-96 jam untuk tumbuh dalam biakan, dan berdasarkan anamnesis dan gejala, atau riwayat pajanan, terapi antibiotik biasanya sudah dimulai sebelum hasil diperoleh. Uji-uji amplifikasi DNA dengan menggunakan metode reaksi berantai polimerase (PCR) dan reaksi berantai ligase (LCR) lebih sensitif dibandingkan biakan bakteri dan dapat digunakan dengan sekret vagina atau serviks atau urin. Bagi laki-laki dengan infeksi uretra, uji-uji amplifikasi DNA dapat dilakukan pada spesimen urine untuk menghindari rasa tidak nyaman akibat pengambilan sediaan apusan dari uretra. Sayangnya, spesimen uretra tidak sespesifik pada perempuan dengan infeksi uretra. Infeksi klamidia yang sering menyertai infeksi gonorea dapat didiagnosis pada spesimen yang sama. Uji-uji amplifikasi DNA semakin banyak tersedia dan kemudahan dalam menangani dan mengirim spesimen. Uji-uji nonbiakan misalnya deteksi antigen (DFA) dan enzyme immunosorbent assay (EIA) kurang dikembangkan dan jarang digunakan.

TERAPI


Gonorea dapat disembuhkan dengan penisilin mulai tahun 1940an; namun, sekarang banyak berkembang galur-galur N. gonorrhoeae yang resisten-penisilin. Terapi yang saat ini direkomendasikan adalah golongan sefalosporin atau fluoroluinolon (CDC, 1998). Sayangnya, di banyak bagian dunia sudah dilaporkan adanya galur-galur N. gonorrhoeae yang resisten-fluorokuinolon (QRNG). Karena ancaman galur-galur N. gonorrhoeae yang resisten ini maka pada semua kasus yang tidak sembuh harus koinfeksi dengan C. trachomatis pada pasien dengan gonorea, maka dianjurkan pemberian terapi untuk kedua penyakit sekaligus. Dalam petunjuk-petunjuk CDC dapat dijumpai regimen-regimen terapi spesifik untuk gonorea, gonorea dan klamidia, gonorea faring dan rektum, gonorea pada perempuan hamil, dan gonorea pada pasien yang terinfeksi HIV (CDC, 1998). Semua kontak seksual pasien yang terinfeksi harus dievaluasi dan ditawarkan terapi profilaktik.


SIFILIS


Sifilis adalah infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh bakteri berbentuk spiral, Treponema pallidum. Kecuali penularan neonatus, sifilis hampir selalu ditularkan melalui kontak seksual dengan pasangan yang terinfeksi; namun spiroketa T. Pallidum dapat menembus sawar plasenta dan menginfeksi neonatus. Spiroketa memperoleh akses melalui kontak langsung antara lesi basah terinfeksi dengan setiap kerusakan, walaupun mikroskopik, di kulit atau mukosa penjamu. Sifilis dapat disembuhkan pada tahap-tahap awal infeksi, tetapi apabila dibiarkan penyakit ini dapat menjadi infeksi yang sistemik dan kronik. Infeksi sifilis dibagi menjadi tiga fase: primer, sekunder, termasuk sifilis laten dini dan lanjut; dan tersier. Setiap fase memiliki tanda dan gejala tersendiri.

GEJALA DAN TANDA


Sifilis Primer
Biasanya manifestasi klinis awal sifilis adalah papul soliter di tempat invasi yang timbul dalam 10 sampai 90 hari setelah terpajan. Dalam satu sampai beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus merah, indolen (tidak nyeri), dan berbatas tegas yang disebut chancre dan dipenuhi oleh spirokaeta. Chancre yang sangat menular ini memiliki ukuran beragam dari beberapa milimeter sampai lebih dari 2 cm. Chancre dapat ditemukan dimana saja tetapi paling sering di penis, anus, dan rektum pada laki-laki, dan vulva, perineum, dan serviks pada perempuan. Pada sifilis primer sering dijumpai limfadenopati indolen yang ipsilateral terhdap chancre. Chancre ekstragenital paling sering ditemukan di rongga mulut, jari tangan, dan payudara. Chancre sembuh spontan dalam 4 sampai 6 minggu.
Sifilis Sekunder
Apabila tidak diobati, tanda-tanda sifilis sekunder akan timbul dalam 2 sampai 6 bulan setelah pajanan. Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik dengan spirokaeta yang menyebar dari chancre dan kelenjar limfe ke aliran darah dan ke seluruh tubuh, menimbulkan veragam gejala yang jauh dari lokasi infeksi semula. Sistem yang paling sering terkena adalah kulit, limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata, dan SSP. Tanda tersering pada sifilis sekunder adalah ruam kulit makulopapular yang terjadi pada 80% kasus. Lesi biasanya simetrik, tidak gatal, dan mungkin meluas; lesi di telapak tangan dan kaki merupakan gambaran yang paling khas.
Lesi lain dapat muncul sebagai ulkus seperfisial di mukosa oral dan genital dan sebagai kondilomata lata, suatu lesi mirip-kutil yang datar di genitalia. Semua lesi sifilis sekunder menular dan dapat menyebabkan penyakit melalui kontak. Gejala dan tanda lain pada sifilis sekunder adalah limfadenopati, uveitis, malese, demam ringan, nyeri kepala, anoreksia, penurunan berat badan, alopesia, serta nyeri tulang dan sendi. Lesi sifilis sekunder sembuh spontan dalam 2 sampai 6 minggu, dan mulailah masa laten.
Masa laten adalah tahap saat pasien memberi hasil positif pada uji serologis untuk sifilis, tetapi secara klinis asimtomatik dan hasil uji laboratorium terhadap cairan serebrospinalis (CSF) normal. Periode sifilis laten dini dibatasi sebagai waktu dari sembuhnya gejala dan tanda sifilis sekunder sampai 1 tahun setelah awal infeksi. Selama masa laten dini, dapat terjadi relaps sifilis sekunder yang menular. Relaps ini dapat terus timbul sampai selama 5 tahun setelah infeksi pada 25% pasien. Delapan puluh lima persen relaps menimbulkan lesi-lesi mukokutis. Periode sifilis laten lanjut adalah dari 1 tahun pasca-infeksi atau sampai gejala sifilis tersier mulai muncul. Klasifikasi masa laten dini dan lanjut penting untuk keperluan pengobatan.
Sifilis Tersier
Beberapa tahun sampai beberapa dekade setelah awal infeksi, dapat timbul tiga bentuk sifilis tersier: sifilis tersier jinak pada kulit, tulang, dan visera; sifilis kardiovaskulat; dan neurosifilis. Sekitar 30% pasien sifilis primer dan sekunder yang tidak diobati akan mengalami sifilis tersier. Sifilis tersier jinak ditandai oleh timbulnya guma, yaitu masa nodular kecil jaringan granulasi dengan bagian tengah mengalami nekrosis dikelilingi oleh sedikit peradangan. Guma dapat timbul dimana saja, termasuk kulit, tulang, selaput lendir, mata, visera, dan SSP. Biasanya secara bersamaan terjadi peradangan aktif disertai pembentukan lesi-lesi baru dan jaringan parut di satu tempat atau lebih.
Terdapat tiga bentuk sifilis kardiovaskular simtomatik: inusifisiensi katup aorta, dan stenosis ostium koroner. Gejala timbul 10 sampai 40 tahun setelah infeksi. Pada masa praantibiotik, penyulit kardiovaskular simtomatik terjadi pada sekitar 10% orang yang mengidap sifilis lanjut tanpa diobati.
Neurosifilis pada dasarnya suatu meningitis kronik yang mula-mula mungkin asimtomatik. Kategori-kategori utama neurosifilis simtomatik adalah sifilis meningen, sifilis meningovaskular, dan sifilis parenkimatosa (yang mencakup paresis generalisa dan tabes dorsalis). Waktu rata-rata dari infeksi sampai awitan gejala untuk sifilis meningen biasanya kurang dari 1 tahun, 7 tahun untuk sifilis meningovaskular, 20 tahun untuk paresis generalisata, dan 25 sampai 30 tahun untuk tabes dorsalis. Sifilis meningen dapat mengenai otak atau korda spinalis, dan pasien mungkin datang dengan nyeri kepala, rasa bergoyang, hilangnya daya ingat, perubahan kepribadian, afasia, dan kejang. Sifilis meningovaskular mencerminkan peradangan difus pia mater dan araknoid disertai tanda-tanda keterlibatan lokal dan generalista pembuluh-pembuluh darah otak – gambaran tersering adalah sindrom stroke yang mengenai arteri serebri media yang didahului oleh gejala-gejala ensefalitis berupa nyeri kepala, vertigo, insomnia, dan gangguan psikologik. Sindrom neurosifilis parenkimatosa mencerminkan kerusakan luas pada parenkim otak (paresis generalista) dan kelainan yang sesuai dengan singkatan PARESIS : Personality, Affect (instabilitas emosi, iritabilitas), Reflexes (hiperaktif), Eye (pupil Argyll Robertson), Sensorium (halusinasi, ilusi, delusi), Intelect (memburuknya daya ingat jangka-pendek, kemampuan orientasi, menghitung, dan menilai), dan Speech. Tabes dorsalis menimbulkan gejala dan tanda demielinisasi kolumna porterior, radiks dorsalis, dan ganglion radiks dorsalis yang menimbulkan ataksia trunkal disertai ayunan langkah yang lebar, hilangnya sensasi posisi, dan foot-slapping (‘langkah ayam’); juga terjadi disfungsi kandung kemih dan impotensi, arefleksia, nyeri visera yang hebat, dan paratesia. Tabes juga sering disertai atrofi optikus yang menyebabkan kebutaan. Pupil yang kecil dan ireguler (pupil Argyll Robertson), suatu ciri pada paresis generalista dan tabes dorsalis, bereaksi terhadap cahaya tetapi tanpa akomodasi. Untungnya, sifilis tersier sudah jarang dijumpai sejak ditemukannya penisilin.
Sifilis Kongenital
Treponema pallidum dapat menembus plasenta dari ibu, menginfeksi janin sehingga menyebabkan sifilis kongenital. Banyak bayi dengan sifilis kongenital tidak memperlihatkan gejala infeksi yang jelas dan didiagnosis berdasarkan riwayat ibu dan pemeriksaan serologik. Sifilis kongenital simtomatik pada bayi dalam banyak hal analog dengan sifilis stadium sekunder. Gambaran klinis yang muncul pada 2 tahun pertama kehidupan dianggap sebagai dini, dan yang timbul setelah usia 2 tahun dianggap lanjut. Gejala dan tanda pada sifilis kongenital dini adalah sumbatan hidung, bercak pada mukosa, serta ruam makulopapular dan kondiloma lata. Lesi di tulang pada sifilis kongenital dini dapat dilihat pada pemeriksaan radiologik. Apabila infeksinya parah, dapat terjadi kelainan visera, SSP, dan hematologik. Uji erologik mungkin nonreaktif pada bayi yang terinfeksi pada akhir masa kehamilan ibunya. Manifestasi sifilis kongenital lanjut adalah keratitis interstisium, gigi Hutchinson (insisivus lateral runcing dan insisivus sentral bertakik), tuli, osteitis, deformitas tulang, guma, dan neurosifilis. Apabila tidak diobati, sampai 40% bayi dengan sifilis kongenital akan meninggal.

PEMERIKSAAN DIAGNOSIS


Diagnosis dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap terhadap eksudat dari chancre pada sifilis primer dan lesi mukokutis pada sifilis sekunder serta uji antibodi fluoresen langsung merupakan metode-metode definitif untuk mendiagnosis sifilis. Namun, uji serologik lebih mudah dilakukan, ekonomis, dan paling sering dilakukan. Terdapat dua uji serologik : (1) uji nontreponema, termasuk uji Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan rapid plasma reagin (RPR), dan (2) uji treponema, termasuk uji fluorescent treponemal antibody-absorbed (FTA-ABS)
TERAPI
Penisilin G parenteral adalah obat pilihan untuk semua stadium sifilis. Dosis dan lama pemberian obat bergantung pada stadium dan manifestasi klinis penyakit.


SUMBER :
Price, Sylvia A, et all. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC

Thursday, January 28, 2010

formspring.me

apa arti dr nick ifonly345??

ifonly itu awal frasa dari chorus lagu Keane yang aku sukai berjudul "Bend and Break".
Banyak yang mengira kalau ifonly itu dari judul film drama percintaan "If Only". Padahal nonton pun belum pernah.
Keinginanku membuat cukup di ifonly sebagai nama maya, tetapi setiap sign up, pasti sudah ada yang terdaftar dengan nickname ifonly.
Lalu iseng membuat nama pakai angka :
3 = tri
4 = a
5 = s
jadi, dibaca TRIAS.
Hahaha, norak memang.
Tapi nama ini sudah eksis sejak aku kelas 1 SMA, dimana aku masih sangat norak dan sekarang tetap saja norak :))

tanya apa saja, selama saya masih bisa menjawab

Saturday, January 16, 2010

EPILEPSI DAN MANIFESTASI DI RONGGA MULUT

Epilepsi ialah manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron-neuron secara tiba-tiba dan berlebihan. Kejang (seizure) merupakan manifestasi abnormalitas kelistrikan pada otak yang menyebabkan perubahan sensorik, motorik, tingkah laku.

Potensial membran
Tiap neuron mempunyai muatan listrik yang disebut potensial membran. Muatan listrik tersebut tergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yaitu membran dapat ditembus dengan mudah oleh K + dan sedikit sekali oleh Na+. Keadaan demikian mengakibatkan konsentrasi K+ dalam sel menjadi tinggi, sedangkan konsentrasi Na+ tetap rendah. Keadaan sebaliknya terdapat di ruang ekstraseluler. Potensial membran ditentukan oleh perbedaan muatan ion di dalam dan di luar sel. Dalam keadaan normal membran sel berada dalam polarisasi yang dipertahankan oleh suatu proses metabolik aktif, yaitu suatu proses yang dapat mengeluarkan Na+ dari dalam sel, sehingga konsentrasi Na + di dalam dan di luar sel tidak berubah. Proses tersebut dinamakan "pompa sodium. "
Penelitian-penelitian membuktikan, bahwa dasar daripada lepas muatan listrik neuron yang berlebihan, sebagai dapat dilihat pada serangan epilepsi, disebabkan oleh gangguan metabolisme neuron, yaitu gangguan dalam lalulintas K + dan Na+ antara ruang ekstra dan intraseluler sehingga konsentrasi K + dalam sel turun dan konsentrasi Na+ naik. Gangguan metabolisme dapat disebabkan oleh berbagai proses patologik yang merubah permeabilitas membran sel, misalnya trauma, ischaemia, tumor, radang, keadaan toksik dan sebagainya. Atau perubahan patofisiologik membran sendiri akibat kelainan genetik.
Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial membran diturunkan oleh potensial aksi yang tiba pada neuron tersebut. Potensial aksi itu lebih besar daripada ambang lepas muatan listrik neuron, sehingga merupakan suatu stimulus yang efektif bagi seluruh membran sel. Selanjutnya potensial aksi disalurkan melalui neurit asendens atau desendens yang bersinaps dengan dendrit neuron berikutnya. Lepas muatan listrik demikian akan menyebabkan gerakan otot, timbulnya rasa protopatik, proprioseptif atau rasa pancaindera tergantung pada fungsi daerah cortex cerebri tempat neuron-neuron melepaskan muatan listriknya.
Dalam keadaan patologik gangguan metabolisme neuron akan menurunkan ambang lepas muatan listrik sehingga neuron-neuron dengan mudah secara spontan dan berlebihan melepaskan muatan listriknya. Dalam klinik hal ini menjelma sebagai serangan kejang atau serangan suatu modalitas perasa. Berbeda dengan lepas muatan listrik yang terjadi secara teratur dalam susunan saraf pusat normal, pada serangan epilepsi terjadi lepas muatan berlebihan yang merupakan lepas muatan listrik sinkron beribu-ribu atau berjuta neuron yang menderita kelainan. Lepas muatan tersebut mengakibatkan naiknya konsentrasi K+ di ruang ekstraseluler sehingga neuron-neuron sekitarnya juga melepaskan muatan listriknya. Dengan demikian terjadi penyebaran lepas muatan listrik setempat tadi. Setelah pelepasan muatan listrik secara masif sejumlah neuron maka bagian otak yang bersangkutan mengalami masa kehilangan muatan listrik sehingga untuk sementara tidak dapat dirangsang. Lambat laun neuron-neuron kembali ke keadaan semula, yaitu kembali mencapai potensial membran semula.
Neurotransmitter
Zat-zat kimia dalam susunan saraf pusat yang juga mempengaruhi terjadinya serangan epilepsi ialah neurotransmitter-neurotransmitter. Bagian terminal presinaptik neurit neuron-neuron yang bersinaps dengan dendrit-dendrit dan badan neuron lain melepaskan neurotransmitter yang dapat melintasi sela sinaps antar-neuron. Neurotransmitter-neurotransmitter yang dilepaskan ini dapat merubah polarisasi membran sel postsinaptik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter tersebut ada yang mempermudah pelepasan muatan listrik dengan menurunkan potensial membran, jadi yang memperlancar jalannya impuls saraf dari neuron ke neuron. Neurotransmitter demikian disebut neurotransmitter eksitasi atau fasilitasi, sedangkan neurotransmitter yang menghambat atau menahan pelepasan muatan listrik, yaitu yang justru menyebabkan hiperpolarisasi sehingga meningkatkan stabilitas neuron, disebut neurotransmitter inhibisi.
Neurotransmitter terpenting yang diketahui mempunyai sifat mempermudah pelepasan muatan listrik, ialah acetylcholin. Acetylcholin dilepaskan oleh bagian terminal presinaptik neuron dan akan meningkatkan permeabilitas membran sel untuk Na+ dan K+. Dalam keadaan fisiologik proses ini dapat membatasi diri karena acetylcholin cepat di-nonaktifkan oleh acetylcholinesterase. Sebaliknya bila proses inaktivasi terganggu sehingga konsentrasi acetylcholin makin meningkat, maka terjadi depolarisasi masif, neuron-neuron berlepas muatan dan timbullah suatu serangan epilepsi.
Neurotransmitter yang mempunyai sifat menahan pclepasan muatan listrik terutama ialah gamma-aminobutyric-acid (GABA). GABA mempunyai sifat inhibisi dan gangguan pada sintesis aminoacid ini akan menyebabkan gangguan pada keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi sehingga terjadi suatu serangan.
Bila bermacam pengaruh terhadap sinaps mcnghasilkan suatu keadaan yang mempermudah pelepasan muatan listrik, maka neuron akan melcpaskan muatan. Tergantung pada berbagai pengaruh tersebut ambang lepas muatan dapat rendah atau tinggi. Lepas muatan listrik sejumlah neuron secara sinkron, berlebihan, tidak terkendali dan berulang sebagai akibat ambang lepas muatan yang rendah merupakan dasar suatu serangan epilepsi.
Faktor-faktor lain
Susunan saraf pusat normal dilindungi oleh berbagai mekanisme terhadap lepas muatan listrik yang berlebihan. Hasil berbagai mekanisme tersebut menentukan ambang lepas muatan. Ambang lepas muatan yang rendah berarti bahwa neuron-neuron lebih mudah melepaskan muatan listriknya. Hal ini tergantung pada keadaan polarisasi membran sel dan pada berbagai pengaruh terhadap kegiatan sinaps. Keadaan yang merubah distribusi K + dan Na+ di dalam sel dan di ruang ekstraseluler atau yang mengganggu kegiatan sinaps dapat menyebabkan serangan epilepsi. Selain oleh trauma, radang, tumor dan sebagainya keadaan demikian dapat disebabkan oleh berbagai faktor lain, diantaranya hipoksi dan hipokapni, gangguan pada elektrolit, misalnya hidrasi atau dehidrasi neuron-neuron yang berlebihan, hipertermi, hipoglikemi dan defisiensi pyridoxine, yaitu zat yang penting untuk kegiatan decarboxylase dalam pembentukan GABA.

Berdasarkan gejalanya, epilepsi dibedakan menjadi (sekaligus pada manifestasi rongga mulutnya) :
Tonic-clonic convulsion = grand mal
Jenis yang sangat sering terjadi. Untuk gejala klinisnya dapat berupa pingsan dan kejang-kejang, sehingga lidah sering tergigit mengakibatkan adanya ulser atau bekas gigitan pada lidah. Penderita juga dapat mengeluarkan air liur sehingga rongga mulut sangat basah.
Abscense attacks = petit mal
Jenis ini jarang terjadi, tidak ada manifestasi rongga mulut saat mengalami epilepsi.
Epilepsi psikomotor
Untuk manifestasi rongga mulut biasanya terjadi serangan olfaktorik, yang disertai suatu serangan gustatorik dan biasanya bersifat sebagai sesuatu yang kurang enak.

Penatalaksanaan epilepsi menggunakan strategi terapi yang mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik syaraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan neurotransmitter.
Obat antiepilepsi yang sangat berpengaruh pada keadaan rongga mulut adalah fenitoin. Pembesaran gingiva (gingival enlargement) adalah hal yang paling sering terjadi pada pengguna fenitoin. Gingival enlargement tidak diobservasi pada semua pasien. Prevalansinya sekitar 25-50%, dan tak ada hubungan yang jelas antara dosis obat dan keparahan pertumbuhan yang berlebih. Efek yang sinergi dilaporkan pada penggunaan pada penggunaan dua atau lebih agen yang dicurigai. Pembesaran jaringan secara tipikal terjadi antara 1-3 bulan setelah terapi obat diinisiasi dan dimulai di jaringan gusi superfisial di antara gigi (papila interdental). Segmen anterior lebih sering mengalami pembesaran dibandingkan area posterior, tapi keterlibatan yang sama rata tidak umum.


Gingival enlargement pada pria berumur 41 tahun dengan penggunaan obat epilepsi selama beberapa tahun


Terdapat hubungan terbalik yang jelas antara oral hygiene dan derajat pembesaran dengan penggunaan obat tersebut. Walau oral hygiene yang baik secara tipikal tidak mencegah pembesaran individu yang rentan, ini sering membatasi keparahan dari respon pada level yang menerima. Walau penghentian atau penggantian obat dapat menimbulkan penurunan pembesaran, pemotongan secara bedah pada jaringan yang melampaui batas (contoh gingivectomy) mungkin diperlukan pula adanya oral hygiene yang adekuat untuk individual tertentu.