Wednesday, June 17, 2009

Download e-book Kedokteran Gigi Periodontal

Dapat dari googling ^^

Clinical Periodontology and Implant Dentistry oleh Jan Lindhe


Download Zip
Klik di sini

Download Rar
Klik di sini
atau
Klik di sini

Carranza Clinical Periodontology 9th Edition


Klik di sini (Part 1)
Klik di sini (Part 2)

Sunday, June 14, 2009

Keratinisasi Mukosa Rongga Mulut

Mukosa rongga mulut merupakan bagian yang paling mudah mengalami perubahan, karena lokasinya yang sering berhubungan dengan pengunyahan, sehingga sering pula mengalami iritasi mekanis. Di samping itu, banyak perubahan yang sering terjadi akibat adanya kelainan sistemik.

Trauma pada rongga mulut dapat menyebabkan perubahan-perubahan epitel pada rongga mulut. Perubahan itu bisa berupa kelainan bertanduk atau kelainan keratinisasi. Keratinisasi adalah proses pembentukan keratin dalam jaringan epidermis atau mukosa sehingga struktur jaringan menjadi keras. Kelainan keratinisasi tersebut dapat berupa epitelium yang terkeratinisasi pada daerah epitelium yang biasanya tidak terkeratinisasi, atau keratinisasi yang berlebihan pada daerah yang normalnya memang terkeratinisasi.

Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah bentuk lebih poligonal yaitu sel spinosum, terangkat lebih ke atas menjadi lebih gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk. Sel tanduk secara kontinu lepas dari permukaan kulit dan diganti oleh sel yang terletak di bawahnya. Proses keratinisasi sel dari sel basal sampai sel tanduk berlangsung selama 14-21 hari.
Perubahan keratinisasi sel epitelium secara histologis diantaranya :
  1. Hiperkeratosis

  2. Proses ini ditandai dengan adanya suatu peningkatan yang abnormal dari lapisan ortokeratin atau stratum corneum, dan pada tempat-tempat tertentu terlihat dengan jelas. Dengan adanya sejumlah ortokeratin pada daerah permukaan yang normal maka akan menyebabkan permukaan epitel rongga mulut menjadi tidak rata, serta memudahkan terjadinya iritasi.

  3. Hiperparakeratosis

  4. Parakeratosis dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan melihat timbulnya pengerasan pada lapisan keratinnya. Parakeratin dalam keadaan normal dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu di dalam rongga mulut. Apabila timbul parakeratosis di daerah yang biasanya tidak terdapat penebalan lapisan parakeratin maka penebalan parakeratin disebut sebagai parakeratosis. Dalam pemeriksaan histopatologis, adanya ortokeratin dan parakeratin, hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang lebih teliti lagi akan ditemukan hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana lapisan granularnya terlihat menebal dan sangat dominan. Sedangkan hiperparakeratosis sendiri jarang ditemukan, meskipun pada kasus-kasus yang parah.

  5. Akantosis

  6. Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang abnormal dari lapisan spinosum pada suatu tempat tertentu yang kemudian dapat menjadi parah disertai pemanjangan, penebalan, penumpukan dan penggabungan dari retepeg atau hanya kelihatannya saja. Terjadinya penebalan pada lapisan stratum spinosum tidak sama atau bervariasi pada tiap-tiap tempat yang berbeda dalam rongga mulut. Bisa saja suatu penebalan tertentu pada tempat tertentu dapat dianggap normal, sedang penebalan tertentu pada daerah tertentu bisa dianggap abnormal. Akantosis kemungkinan berhubungan atau tidak berhubungan dengan suatu keadaan hiperortikeratosis maupun parakeratosis. Akantosis kadang-kadang tidak tergantung pada perubahan jaringan yang ada di atasnya.

  7. Diskeratosis atau displasia

  8. Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk mendiagnosis suatu displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang jelas antara displasia ringan, displasia parah, dan atipia yang mungkin dapat menunjukkan adanya suatu keganasan atau berkembang ke arah karsinoma in situ. Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis adanya displasia epitel adalah: adanya peningkatan yang abnormal dari mitosis; keratinisasi sel-sel secara individu; adanya bentukan epithel pearls pada lapisan spinosum; perubahan perbandingan antara inti sel dengan sitoplasma; hilangnya polaritas dan disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya pembesaran inti sel atau nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia dan giant nuclei; pembelahan inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma; serta adanya basiler hiperplasia dan karsinoma intra epitel atau carcinoma in situ.
    Pada umumnya, antara displasia dan carsinoma in situ tidak memiliki perbedaan yang jelas. Displasia mengenai permukaan yang luas dan menjadi parah, menyebabkan perubahan dari permukaan sampai dasar. Bila ditemukan adanya basiler hiperlpasia maka didiagnosis sebagai carcinoma in situ.
    Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan granuler. Mungkin secara klinis carcinoma in situ kurang dapat dilihat. Hal ini berbeda dengan hiperkeratosis atau leukoplakia yang dalam pemeriksaan intra oral kelainan tersebut tampak jelas.


Linea Alba Bukalis


Merupakan temuan intraoral dengan perubahan warna yang tampak sebagai garis bergelombang putih, menimbul, dengan panjang yang bervariasi dan terletak pada garis oklusi dari mukosa pipi. Kelainan tanpa gejala ini umumnya memanjang dari mukosa pipi daerah M2 sampai ke C dengan lebar 1-2 mm. Lesi ini biasanya dijumpai bilateral dan tidak dapat dihapus. Gesekan gigi-gigi dapat menyebabkan perubahan-perubahan epitel yang menebal dan terdiri dari jaringan hiperkeratotik. Keadaan tersebut seringkali dikaitkan dengan crenated tongue dan dapat merupakan tanda dari bruksism, clenching, atau tekanan mulut yang negatif. Gambaran klinisnya menunjukkan ciri diagnostik dan tidak perlu perawatan.

DAFTAR PUSTAKA
Harty, F.J. dan R. Ogston. 1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Wasiaatmaja, Syarif M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI Press [halaman 11-15]
Langlais, Robert R. dan Craig S. Miller. 1998. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Jakarta: Hipokrates

Monday, June 8, 2009

Sekilas tentang Patogenesis Herpes

Baik untuk dokter maupun dokter gigi, mulut merupakan bagian tubuh yang penting, yang dapat terserang penyakit lokal atau ikut berperan pada berbagai keadaan sistemis. Bidang penyakit mulut dapat didefinisikan sebagai diagnosa dan perawatan keadaan ‘medis’ rongga mulut dan struktur yang berhubungan dengannya, termasuk relasi mulut dan wajah yang tidak dapat dipisahkan sebagai satu kesatuan.

PATOGENESIS INFEKSI VIRUS HERPES
Virus herpes simpleks merupakan organisme berbentuk silindris serta terdiri terutama dari DNA, berukuran kira-kira 10 µm, tetapi memiliki sarung yang mudah larut, sehingga organisme tampak dua kali lebih besar dari ukuran yang sebenarnya.
Virus mempunyai kecenderungan untuk menyerang sel epitelial dan sel akan menunjukan perubahan sitologi yang meliputi :
  • Perkembangan badan nukleus inklusi (inklusi sel = konstitusi sitoplasma sel yang pada umumnya tidak bernyawa dan sering hanya bersifat sementara)

  • Giant sel multinukleus

  • Kerusakan sel

Perubahan sitologi terdiri dari penggabungan sel yang normal dengan sel yang terinfeksi, untuk membentuk masa sinsisial yang kecil (giant sel) dengan nukleus lebih dari satu. Pada beberapa keadaan, dapat terjadi pembelahan nuklei tanpa pembelahan sitoplasma, sehingga akan terbentuk giant sel multinukleat yang lain. Sel-sel ini terlihat jelas pada hapusan sel lesi herpes dan sering disebut sebagai mulbery sel. Di antara tanda-tanda histologi dari lesi herpes, sitolisis merupakan tanda yang paling jelas, dengan disertai pembentukan vesikel intra epitelial. Epitelial dasar vesikel dapat sangat rusak sehingga vesikel terletak subepitelial. Sel-sel pada tepi vesikel dapat menunjukan tanda-tanda seperti di atas tetapi tanda tersebut terlalu jelas terlihat pada pemeriksaan histologi. Infeksi herpes simpleks mempunyai hubungan dengan respon antibodi.



Herpes varisela – infeksi Zooster mirip dengan herpes simpleks, yaitu pada struktur virus, pola infeksi (terdapat kontak primer, infeksi sistemis akut/infeksi ulang), maupun patologi lesi epitelial. Selain itu pada tiap lesi berubag dari makula menjadi papula dan vesikel, yang membentuk borok dan infeksi sekunder.

Sumber : Gayford dan Haskell. 1990. Penyakit Mulut (Clinical Oral Medicine). Jakarta: EGC

Tinjauan Pustaka : Infeksi Jaringan Lunak Rongga Mulut

PENDAHULUAN
Beberapa mikroorganisme, seperti bakteri, spirochaeta, riketsia, klamidia, mikoplasma, jamur, ragi, dan protozoa dapat menginfeksi tubuh manusia. Beberapa diantaranya secara normal dan tidak berbahaya (komensal); beberapa lainnya bahkan menguntungkan (saprofit). Tetapi, banyak juga yang patogen, menyebabkan penyakit dengan merusak jaringan dan sel hospes. Perbedaan ini kendati berguna, tidak selalu demikian; di bawah keadaan tertentu (misalnya imunosupresi), organisme komensal dapat menjadi patogen, menimbulkan infeksi oportunistik.
Jenis, luas, dan beratnya kerusakan mikroorganisme yang disebabkan tiap mikroorganisme patogen dipengaruhi juga oleh sejumlah faktor yang berperan saat timbul infeksi. Faktor tersebut bisa berasal dari mikroorganisme atau hospes.

  1. Faktor Mikroorganisme

    • Jalan masuk

    • Untuk menyebabkan penyakit, organisme harus mendapatkan jalan masuk ke sel dan jaringan tubuh, dan kebanyakan masuk melalui saluran pernapasan atau tractus gastrointestinal. Organisme komensal bisa menjadi patogen bila dipindahkan ke daerah lain, misalnya Streptococcus viridans yang memasuki sirkulasi darah dapat menyebabkan endokarditis.

    • Dosis dan virulensi

    • Dosis menunjukkan jumlah organisme yang memasuki tubuh dan virulensi mencerminkan kemampuannya menyebabkan penyakit. Secara umum, makin besar dosisnya, makin besar kemungkinan timbulnya penyakit, tetapi makin tinggi virulensi makin sedikit organisme yang diperlukan. Dalam spesies, strain yang berbeda akan menunjukkan virulensi yang berbeda pula.

    • Kemampuan invasi

    • Menunjukkan kemampuan untuk berbiak dan menyebar. Invasi dipermudah oleh produksi enzim ekstraselular dan endotoksin. Endotoksin, berhubungan erat dengan dinding sel organisme, dilepaskan saat autolisis untuk menimbulkan kerusakan sel jaringan hospes enzim ekstraseluler (misalnya koagulase, kolagenase, dan hialuronidase) menghancurkan jaringan setempat dan melindungi organisme dari mekanisme pertahanan tubuh. Selain itu, eksotoksin yang disekresikan ke sekitarnya oleh organisme dapat menyebabkan efek toksin jarak jauh atau merata.

    • Penyebaran

    • Kelangsungan hidup jangka panjang setiap mikroorganisme tergantung pada kemampuannya untuk berpindah ke hospes lain yang lebih sesuai. Jadi, banyak yang ditularkan melalui hembusan dari saluran penapasan atau yang lain; beberapa diantaranya membentuk spora penahan, ada pula yang memerlukan vektor antara spesifik, yaitu binatang; beberapa lainnya membutuhkan kontak fisik intim.


  2. Faktor Hospes

    • Barier fisik

    • Kulit dan membrana mukosa utuh memberikan rintangan penting terhadap infeksi. Banyak organisme patogen membutuhkan adanya kerusakan dalam jaringan untuk mendapatkan jalan masuk. Selain itu, kulit dan banyak permukaan mukosa lain secara normal ditutupi oleh sejumlah organisme komensal yang membantu melawan pembentukan organisme patogen.

    • Barier fisiologis

    • Banyak barier fisiologis mencegah organisme patogen mendapat jalan masuk, termasuk sekresi kulit, enzim saliva di dalam mulut dan pH asam di dalam perut. Bila organisme patogen memasuki sirkulasi darah, biasanya dikeluarkan oleh sel sistem fagosit mononukleus (sel sistem retikuloendoteliel) yang tersebar di seluruh tubuh.

    • Respon peradangan

    • Organisme patogen adalah penyebab utama radang kronis dan akut, serta respon peradangan adalah salah satu mekanisme pertahanan alamiah tubuh yang palinng penting.

    • Respon imunologis

    • Memberikan perlawanan dan imunitas terhadap agen-agen penyebab infeksi tertentu.

    • Faktor-faktor lokal

    • Gambaran tertentu di tempat masuk organisme patogen akan membantu infeksi dan menghalangi pemberantasan. Beberapa organisme adalah anaerob, jadi memerlukan hipoksia setempat.

    • Faktor-faktor sistemik

    • Beberapa kondisi sistemik atau penyakit memudahkan terjadinya infeksi, dalam hal ini termasuk malnutrisi, alkoholik kronik, diabetes melitus, sindroma Cushing, dan keadaan umum lemah seperti penyakit keganasan yang telah menyebar dan payah ginjal kronik.

    • Usia

    • Baik orang sangat muda ataupun sangat tua, keduanya mempunyai kerentanan yang meningkat terhadap penyakit infeksi.

    • Obat

    • Obat antimikroba yang tepat dalam konsentrasi darah adekuat membantu membasmi banyak mikroorganisme rentan.
(Lawyer, 1992 : 18-19)


BEBERAPA INFEKSI SPESIFIK
Rongga mulut dihuni oleh berbagai jenis mikroorganisme yang membentuk mikroflora yang komensal. Mikroflora ini biasanya mengandung bakteri, mikoplasma, jamur, dan protozoa, yang kesemuanya dapat menimbulkan infeksi oportunistik simtomatik tergantung pada faktor-faktor lokal atau daya pertahanan tubuh pejamu yang rendah. Sebagai tambahan, sejumlah virus dapat menimbulkan lesi orofasial atau hadir secara asimtomatis di dalam saliva pada saat timbulnya infeksi virus secara sistemik atau pada pembawa yang sehat.

  1. Infeksi yang Disebabkan oleh Bakteri

  2. Bakteri endogenous terutama terlibat dalam dua penyakit manusia yang paling umum yaitu penyakit periodontal dan karies gigi. Walaupun jarang, kondisi-kondisi menular seperti tuberkulosis, gonorhoe, serta sifilis dapat menimbulkan pengaruh pada mukosa mulut sehingga dirasakan sangat penting untuk diketahui.

    • Tuberkulosis

    • Dahulu, infeksi sekunder mukosa mulut yang disebabkan oleh Myobacterium tuberculosis yang terdapat dalam dahak penderita tuberkulosis pulmoler aktif merupakan hal yang biasa dan umum. Tapi tuberkulosis oral dewasa ini sudah jarang terjadi di Eropa dan Amerika Utara, walaupun ada kenaikan insiden penderita AIDS. Lesi intraoral biasanya terbentuk pada permukaan dorsal lidah tetapi dapat juga terjadi pada tempat lain.

    • Gonorhoe

    • Penyakit kelamin menular ini di beberapa negara telah mencapai tahap epidemik dan kesehatan rongga mulut sudah terdiagnosis sebagai akibat seksualitas yang meningkat di antara orang dewasa terutama pada pria homoseksual. Lesi primer dapat terjadi akibat kontak orogenital. Penderita mengeluh tentang rasa sakit pada mukosa mulut diiringi dengan adanya perubahan pengecapan, halitosis, dan limfadenopatik. Pemeriksaan klinis menunjukkan tanda-tanda yang bervariasi, termasuk eritema, edema, ulserasi, dan pseudomembran, terutama di daerah tonsil dan faring.

    • Sifilis

    • Lesi primer dari penyakit kelamin umumnya terjadi di daerah genetalia, dapat juga dijumpai pada bibir atau mukosa mulut sebagai akibat kontak orogenital.
      Lesi primer dan sifilis bawaan ditandai oleh timbulnya nodul yang pecah setelah beberapa hari dab meninggalkan borok/luka dengan tepi keras yang tidak sakit. Biasanya terjadi pembengkakan serta kekenyalan kelenjar limfe servikal. Lesi primer (chancre) ini sangat infektif dan oleh karena itu harus diperiksa dengan hati-hati. Sifilis primer biasanya mereda setelah 8-9 minggu tanpa meninggalkan jaringan parut.
      Sifilis sekunder secara klinis akan muncul kira-kira 6 minggu setelah infeksi primer dan ditandai oleh sebuah ruam makular atau papular, demam, lesu, sakit kepala, limfadenopati umum, serta sakit pada tenggorokan. Pada kira-kira sepertiga penderita, mukosa akan terlibat dan lesi digambarkan sebagai ‘lesi jejak siput’. Sifilis sekunder ini akan hilang dalam 2-6 minggu.
      Sifilis dapat terjadi laten dan menimbulkan lesi tersier beberapa tahun setelah infeksi pertama. Dua lesi yang dikenali sebagai tanda sifilis tersier adalah gumma di langit-langit, serta leukoplakia pada permukaan dorsal lidah.

  3. Infeksi yang Disebabkan oleh Jamur

  4. Walaupun berbagai jamur dapat menimbulkan penyakit orofasial, sebagian besar kondisi fungal disebabkan oleh spesies Candida.
    Kira-kira 40% dari populasi mempunyai spesies candida di dalam muut dalam jumlah kecil sebagai bagian yang normal dari mikroflora oral. Kandidosis oral telah dinyatakan sebagai ‘penyakit dari yang berpenyakit’ karena kandidosis seringkali mengindikasikan adanya penyakit yang mendasari timbulnya proliferasi komponen candida dari flora mulut. Spektrum spesies candida yang dapat terbentuk di dalam rongga mulut meliputi Candida albicans, Candida glabrata, Candida tropicalis, Candida pseudotropicalis, Candida guillerimondi, serta Candida krusei. Walaupun setiap spesies candida dapat menimbulkan infeksi mulut, sebagian besar kasus disebabkan oleh Candida albicans. Sejumlah faktor predisposisi dilibatkan dalam terjadinya kandidosis oral.

  5. Infeksi yang Disebabkan oleh Virus

  6. Banyak virus dapat menimbulkan penyakit oral dan perioral. Berjenis-jenis virus, seperti kelompok herpes, menimbulkan erosi atau ulserasi, tetapi jenis lainnya seperti misalnya virus papilloma manusia dapat menimbulkan pertumbuhan mukosa yang berlebihan.

    • Virus Kelompok Herpes

    • Virus kelompok ini, yang terdiri atas Herpes simpleks tipe I, Herpes simpleks tipe II, Varicella Zooster, virus Epstein-Barr dan sitomegalovirus, bertanggung jawab atas sebagian besar lesi mukosa mulut yang disebabkan oleh virus.
      Varicella Zooster
      Lesi primer oleh virus Varicella Zooster dapat menimbulakan cacar air, sementara pengaktifan kembali virus ini dapat menimbulkan herpes zooster.
      Cacar air, sebuah penyakit menular yang umum terjadi pada anak-anak, dikarakteristikan oleh adanya ruam kulit makulopapular. Lesi ini akan timbul pada batang tubuh dan menyebar ke wajah dan anggota badan. Pada kebanyakan penderita cacar air, lesi kutaneus dapat mendahului disertai denga timbulnya ulser kecil (diameter 2-4 mm) di palatum dan daerah fausial. Pengaktifan kembali Varicella zoosterpada simpul (ganglia) saraf sensoris menimbulkan nyeri hebat yang diikuti dengan mukolobulus kutaneus atau lesi mukosa.
      Virus Epstein-Barr
      Virus Epstein-Barr biasanya menimbulkan infeksi mononukleosis, yang dikarakteristikan oleh pembesaran kelenjar limfe, demam, serta inflamasi faringeal. Kira-kira 30% penderita juga akan mengalami purpura atau petechiae di palatum serta ulserasi mukosa. Kadang-kadang dapat timbul perdarahan pada gusi dan ulserasi yang mirip dengan ulserasi akut yang ternekrotisasi. Kondisi ini terutama terjadi pada anak-anak atau dewasa muda dan diperkirakan transmisinya adalah melalui saliva.

    • Papillomavirus Manusia

    • Hingga kini, lebih dari 65 jenis papillomavirus manusi (HPV) sudah diidentifikasikan. Golongan virus DNA ini sudah diketahui dampaknya pada pembentukan papillomatus hiperplasti dan lesi sel skuamosa verukosis pada kulit serta berbagai tempat di mukosa. Tetapi perlu ditekankan bahwa keterlibatan dan penelitian mengenai peranan virus tersebut dalam penyakit mulut sedang dilakukan.
(Lewis dan Lamay, 1994 : 37-45)



Daftar Pustaka
Lawler, W., Ahmed, A., Hume, W.J., 1992. Buku Pintar Patologi Untuk Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Lewis & Lamay. 1994. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Jakarta: Widia Medika

PENYAKIT DENTOMAKSILOFASIAL I

Blok ini mempelajari patogenesis, gambaran klinis, dan metode pemeriksaan dari berbagai macam penyakit dentomaksilofasial yang disebabkan infeksi dan trauma.

Posting-posting untuk setiap blok saya putuskan untuk menampilkannya sekaligus setiap satu blok berakhir.
Jadi, blog saya tidak akan update jika satu blok belum berakhir.
Untuk sementara, posting-posting hanya saya simpan sebagai draft dan tidak di-publish.
Untuk saat ini blok yang saya tempuh yaitu blok Penyakit Dentomaksilofasial I, tetap bersama teman-teman kelompok tutorial 6 ^^ Blok ini akan berakhir pada tanggal 25 Juli 2009 dan akan diupdate sesegera mungkin setelah tanggal 25 Juli 2009