Saturday, December 5, 2009

METASTASE SEL TUMOR GANAS (KANKER)

Sel-sel tumor ganas dapat lepas dari gerombolan tumor induknya menyebar ke berbagai organ menimbulkan kanker sekunder atau anak sebar atau metastase. Dalam keadaan normal, hanya sel-sel tertentu saja yang dapat bergerak sendiri seperti leukosit, makrofag, dan lainnya. Tetapi pada tumor ganas, sel-sel dapat bergerak sendiri seperti amoeba dan lepas dari gerombolan sel-sel tumor induknya, masuk di antara sel-sel normal di sekitarnya. Hal ini menimbulkan metastase atau anak sebar di kelenjar limfe atau di organ lainnya. Penyebaran itu dapat melalui berbagai jalan, seperti :
  • Limfogen
  • Sel-sel kanker dapat menginvasi prmbuluh limfe dan ikut masuk ke dalam aliran pembuluh limfe dan tumbuh di situ sebagai anak sebar.
  • Hematogen
  • Sel-sel kanker menginvasi pembuluh darah (angioinvasi) dan ikut aliran darah ke organ-organ yang letaknya jauh dan tumbuh di situ berupa nodus atau tumor sekunder.
  • Transluminal
  • Sel kanker dapat lepas dari tumor induknya dan ikut aliran makanan, urine, atau aliran lainnya ke arah distal dan pada satu tempat tersangkut dan tumbuh di bagian distal menjadi anak sebar.
  • Transcelomik
  • Misalnya pada kanker lambung, setelah menginvasi serosa, sel kanker dapat lepas dari lambung dan menyebar melalui rongga peritoneum. Pada suatu tempat, sel kanker itu tersangkut dan tumbuh menjadi anak-anak sebar, misalnya di ovarium atau rongga pelvis misalnya.
  • Iatrogen
  • Sel-sel kanker dapat lepas dari tumor induknya karena manipulasi, seperti karena dipijat, dioperasi, atau karena trauma, lalu menyebar lokal atau masuk ke aliran limfe atau darah dan ikut aliran limfe atau darah kemudian menimbulkan anak sebar lokal pada lokasi tersebut, regional di kelenjar limfe yang berdekatan atau di organ-organ yang letaknya jauh.

Penyebaran kanker dapat timbul dimana-mana dalam organ tubuh, termasuk kelenjar limfe di luar kelenjar limfe regional. Penyebaran jauh itu umumnya secara hematogen. Penyebaran dapat soliter (hanya satu saja), tetapi umumnya multipel pada satu atau beberapa organ. Penyebaran ke organ-organ umumnya berbentuk nodus atau tumor dan menimbulkan destruksi jaringan atau gangguan fungsi organ yang bersangkutan. Penyebaran ke organ vital (paru, hati, ginjal, otak, dsb) umumnya penderita lebih cepat meninggal daripada ke organ non vital (kulit, tulang, sumsum, kelenjar limfe di luar regional, dsb).

PROSES PENYEBARAN
Proses penyebaran (metastase) terjadi karena ada interaksi antara sel kanker dengan sel tubuh normal penderita. Sel-sel tubuh mempunyai daya tahan, baik mekanis, maupun immunologis, sedang sel kanker mempunyai daya untuk mengadakan invasi, imobilisasi, dan metastasis.
Pada proses metastasis, sel kanker menginvasi dan masuk ke dalam pembuluh darah dan akan :
  1. Terhenti pada suatu tempat dan menempel pada endothel pembuluh darah
  2. Sel kanker yang masuk sirkulasi dapat sendirian atau bergerombol dengan bekuan darah membentuk emboli. Tidak semua sel kanker yang masuk sirkulasi dapat tumbuh menjadi metastasis. Sebagian besar akan mati dan yang tahan hidup pada suatu tempat pada endothel kapiler dalam organ akan melekat dengan bantuan glikoprotein, seperti fibronektin, laminin dan reseptor membran sel penderita. Berhasil atau tidaknya sel kanker melekat dan tumbuh di situ tergantung pada keadaan organ di tempat itu, apakah sesuai atau tidak.
  3. Sel kanker merusak membran basal dan matriks pembuluh darah
  4. Setelah melekat pada endothel membran basal, sel kanker itu mengeluarkan enzim, seperti protease, collaginase, cathepsin yang dapat merusak membran basal sehingga sel kanker dapat keluar dari pembuluh darah.
  5. Sel kanker migrasi ke jaringan extravaskuler
  6. Sel kanker dengan gerakan amoeboid masuk ke jaringan ekstravaskuler dan tumbuh di situ membentuk koloni-koloni sel. Arah gerakan dipengaruhi oleh faktor kemotaksis yang dapat berasal dari serom, organ parenkim, atau membran basal yang mempengaruhi lokasi metastase.
  7. Sel kanker merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru
  8. Untuk dapat tumbuh, perlu ada pasokan darah yang hanya dicukupi dengan angiogensesis, yaitu pembentukan pembuluh darah baru, dan neovaskularisasi.

Peranan Matrix Metaloproteinases (MMPs) pada Metastasis
Jaringan tubuh tersusun dari berbagai sel yang dikelilingin oleh matriks ektra seluler yang terdiri dari protein fibrin (kolagen dan elastin), protein adesif (fibronektin dan laminin), serta gel proteoglikan dari hialuronan. Matriks ekstraseluler berfungsi mendukung motilitas sel dalam jaringan ikat, mengatur proliferasi sel, bentuk dan fungsi sedemikian rupa sehingga nutrisi dan bahan-bahan kimia dapat berdisfungsi dengan bebas.
Matriks ekstraseluler adalah merupakan rangkaian protein dan proteglikan yang mendukung struktur dan fungsi regulator pada jaringan. Matriks adalah merupakan homeostasis dinamik yang dipertahankan melalui degradasi konstan dan resintesis komponen matriks serta remondeling dari komponen matriks selama beberapa proses fisiologis. Beberapa komponen matriks ekstraseluler dan membran basal menggunakan segulasi negatif dari sel matriks, khususnya migrasi seluler dan proliferasi. Membran basal berperan sebagai filter makromolukel dan sebagai pertahanan fisik terhadap migrasi sel. Remodeling matriks yang tidak sesuai kadang terjadi selama perkembangan. Berbagai kelainan patologis dapat mengubah keseimbangan sehingga terjadi invasi tumor dan metastasis.
Kemampuan sel kanker melakukan invasi dan metastasis adalah karena dihasilkannya Matriks Metalloproteinases (MMPs) oleh sel kanker. Selain itu juga karena adanya pengaruh sel-sel stromal dari sekitarnya. MMPs adalah kelompok enzim yang mendegradasi kompenen matriks ekstraseluler, mempunyai peran yang sangat penting dalam proses normal dan patologis dimana terjadi remodeling matriks ekstraselular. Pada sel kanker terjadi perubahan fase mobilitas sel, pada fase migratoris, sel normal dapat berkembang menjadi remodeling atau perbaikan sel. Hal ini dipengaruhi oleh MMPs. Dan perlu diperhatikan bahwa pada jaringan tumor sering dijumpai adanya overekspresi dari MMPs.
MMps adalah adalah family dari AN 2+-dependent endopeptidases yang mengandung zinc, disekresi oleh berbagai tipe sel yang secara kolektif memiliki potensi untuk degradasi selutuh protein dan komponen proteoglikan dari matriks ektraseluler dan membran basal. MMPs mempunyai karakteristik :
  1. Mampu menghidrolisa protein atau komponen proteoglikan dari matriks ekstraseluler

  2. Mengandung Zn2+ dan Ca2+ yang diperlukan pada proses katalik

  3. Tersekresi atau terdapat dalam membran sel sebagai bentuk laten yang dapat teraktivasi

  4. Dapat dihambat oleh inhibitor MMps endogen yaitu Tissue Inhibitor of Metalloproteinases (TIMPs). Regulasi aktivitas MMPs terjadi pada berbagai tingkatan, termasuk didalamnya adalah modulasi ekspresi gen MMPs, aktivasi ekstraseluler dari proenzim, penghambatan dan aktivasi dalam kaitannya dengan TIMPs. TIMPs dapat mempengaruhi berbagai proses yang diperantarai MMP seperti prosesing sitokin, degradasi faktor pertumbuhan untuk ikatan protein, dan faktor pertumbuhan untuk pelepasan ikatan membran basal. Saat ini telah dapat dideteksi sebanyak empat kelompok TIMPs yaitu TIMps-1, TIMPs-2,TIMPs-3, TIMps-4. Semua anggota kelompok tersebut dapat dideteksi pada sebagian besar jaringan dan cairan tubuh manusia, kecuali TIMPS-3 dalam bentuk solubel.

  5. Aktivas MMPs diseimbangkan oleh TIMPs, secara bersama-sama keduanya mengatur interaksi antara sel dengan matriks pada berbagai proses fisiologis. Adanya gangguan pada keseimbangan interaksi ini akan mengakibatkan disfungsi seluler dan jejas sel.

Berdasarkan substratnya MMPs dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok utama yaitu kalogenade, stromelisin, gelatinase, tipe membran. Peran MMP juga tidak hanya dalam meningkatkan perkembangan kanker melalui pembuangan barier matriks ekstraseluler tetapi juga modulasi sinyal yang mempengaruhi transformasi seluler dan pertumbuhan tumor.
Laminin-5 (Ln-5) adalah glikoprotein heterotrimetik bagian dari struktur hemidesmosom pada membran basal dan epitel permukaan yang berkaitan dengan jaringan ikat pendukungnya. Sel epithelial mendesposisikan Ln-5 selama migran, dimana MMP-2dan MMP-3 memecah rantai Gama 2 Ln-5 yang menginduksi migrasi sel. Ln-5 adalah komponen utama dari filamen pada kompleks hemidesmosom dengan fungsi penting membran dasar dalam adesi sel, migrasi, proliferasi, penyembuhan luka, homeostasis kulit dan perkembangan. Selain itu peranan integrin sebagai reseptor juga memiliki arti penting pada proses migrasi sel kanker.
Beberapa MMP adalah MMP-2 dan-14 yang dapat memecah rantai Gama 2 Ln-5 dan menginduksi migrasi sel. MMP memiliki potensi dalam menginduksi invasi sel tumor melalui pemecahan rantai Gama2 Ln-5, biasanya neoekspresif pada area invasif tumor dan terseposit oleh sel migrasi. Pada jaringan tumor, terjadi overekspersi beberapa MMP. Mekanisme yang mendasarinyapun bervariasi.
Metastasis terjadi oleh karena sel epitel bermigrasi. Migrasi sel epitel adalah suatu proses yang dinamis dan kompleks yang memainkan peranan yang sangat penting dalam proses perkembangan, regenerasi dan perbaikan dari berbagai jaringan dan organ tubuh. Migrasi sel epitel sangat essensial untuk berbagai proses fisiologis dan patologis. Migrasi maligna dari sel tumor melibatkan mekanisme molekuler yang serupa dengan pada migrasifisiologis. Perubahan perilaku sel adalah sebagai akibat perubahan dari sinyal molekul dan perbedaan kemampuan dari sel tumor dalam merespon sinyal. Invasi sel tumor adalah merupakan model umum yang paling sering digunakan dalam mempelajari mekanisme migrasi melibatkan proses ikatan antara reseptor dengan ligan dan interaksi antara protein-protein oleh enzim membran basal. Dari penjelasan di atas, dapat diambil hipotesa bahwa kemampuan sel kanker melakukan invasi dan metastasis adalah karena dihasilkannya MMPs oleh sel kanker yang dapat menyebabkan kerusakan pada komponen dan struktur matriks ekstra seluler dan membran basalis. MMPs dapat memecah rantai Gama2 Ln-5 dan menginduksi migrasi sel. Selain itu peranan integrin sebagai reseptor juga memiliki arti penting pada proses migrasi sel kanker. Dimana kemampuan MMPs dalam menginduksi metastasis sel kanker sebagian dapat dihambat dengan bloking reseptor integrin 5 da v dengan antibodi spesifik.
Jalur penyebaran sel kanker tidak hanya bisa melalui pembeluh darah, mengingat MMP turut berperan dalam angiogenesis, maka berperan juga dalam metastasis melalui pembentukan pembuluh darah baru, tetapi bisa juga melalui pembuluh limfe. Migrasi sel epitel adalah suatu proses yang dinamis dan kompleks yang memainkan peranan yang sangat penting dalam proses perkembangan, regenerasi dan perbaikan dari berbagai jaringan dan organ tubuh. Mekanisme molekuler dari migrasi sel epitel pada proses patologis seperti defek perkembangan, ulser kronik atau tumor epithelial pada dasarnya sama dengan pada proses fisiologis. Adanya suatu penyimpanan pada aktivitas MMPs menyebabkan kondisi destruktif patologis seperti pada kanker dan penyakit kronis serta proses inflamasi.

Proses Angiogenesis
Sel-sel tumbuh dan berkembang biak memerlukan pasokan darah. Bila pasokan darah tidak mencukupi, pertumbuhan sel akan terganggu, karena perfusi tidak mencukupi. Untuk dapat tetap hidup, sel kanker dapat memproduksi angiotropin yang merangsang angiogenesis, yaitu pembentukan pembuluh darah baru ke arah tumor. Invasi sel kanker ke dalam pembuluh darah dapat terjadi saat pembentukan pembuluh darah baru itu. Prosesnya demikian :
  1. Sel endothel pembuluh darah dirangsang untuk mengadakan proliferasi dan mengadakan lisis membran basal dan matriks pembuluh darah. Ada beberapa protein yang dapat merangsang angiogenesis seperti : FGF (fibroblast growth factor), UPA (urokinase type plasmin activator), TGFβ-1 (transforming growth factor β-1), TIMP-2, dan sebagainya. Ada pula protein yang menghambat angiogenesis seperti TIMP, PAI (plasmin activator inhibitor), collagenase type IV, inhibitor serine proteinase

  2. Untuk dapat menghancurkan matriks pembuluh darah, sel endothel mengeluarkan enzim kolagenase type IV, TIMP-2, dan serine proteinase. Adanya inhibitor ini, akan mengahambat pertumbuhan endothel ke stroma ekstravaskuler./li>
  3. Setelah terjadi lisis matriks pembuluh darah, sel-sel endothel mengadakan migrasi ke jaringan stroma perivaskuler, membentuk tunas pembuluh darah baru.

  4. Tunas itu kemudian tumbuh membentuk mikrovaskuler tubulus dan loop pembuluh darah, sehingga darah dapat mengalir ke dalam tumor.


Daftar Pustaka
Sukardja, I Dewa Gede. 2000. Onkologi Klinik Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press
http://www.pdgi-online.com/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=726&Itemid=1&limit=1&limitstart=2

Tumor Jinak Rongga Mulut

Neoplasia secara harafiah berarti “pertumbuhan baru”. Dapat diartikan pula bahwa neoplasia adalah pembentukan jaringan baru yang abnormal. Neoplasia dan tumor sebenarnya adalah sesuatu yang berbeda. Tumor adalah istilah klinis yang menggambarkan suatu pembengkakkan, dapat karena oedema, perdarahan, radang, dan neoplasia.
Ada dua tipe neoplasia, yaitu neoplasia jinak (benign neoplasm) dan neoplasia ganas (malignant neoplasm). Perlu diperhatikan perbedaan antara keduanya, bahwa neoplasia jinak merupakan pembentukan jaringan baru yang abnormal dengan proses pembelahan sel yang masih terkontrol dan penyebarannya terlokalisir. Sebaliknya pada neoplasia ganas, pembelahan sel sudah tidak terkontrol dan penyebarannya meluas. Pada neoplasia ganas, sel tidak akan berhenti membelah selama masih mendapat suplai makanan.
Proses terjadinya neoplasma tidak dapat lepas dari siklus sel karena sistem kontrol pembelahan sel terdapat pada siklus sel. Gangguan pada siklus sel dapat mengganggu proses pembelahan sel sehingga dapat menyebabkan neoplasma. Kerusakan sel pada bagian kecilnya, misalnya gen, dapat menyebabkan neoplasma ganas. Tetapi jika belum mengalami kerusakan pada gen digolongkan pada neoplasma jinak, sel hanya mengalami gangguan pada faktor-faktor pertumbuhan (growth factors) sehingga fungsi gen masih berjalan baik dan kontrol pembelahan sel masih ada.
Tumor/neoplasma jinak di rongga mulut dapat berasal dari sel odontogen atau non odontogen. Tumor-tumor odontogen sama seperti pembentukan gigi normal, merupakan interaksi antara epitel odontogen dan jaringan ektomesenkim odontogen. Dengan demikian proses pembentukan gigi sangat berpengaruh dalam tumor ini. Sedangkan tumor non odontogen rongga mulut dapat berasal dari epitel mulut, nevus/pigmen, jaringan ikat mulut, dan kelenjar ludah.

Neoplasia/tumor jinak adalah pertumbuhan jaringan baru abnormal yang tanpa disertai perubahan atau mutasi gen. Faktor penyebab yang merangsang tumor jinak digolongkan dalam dua kategori, yaitu :

  • Faktor internal, yaitu faktor yang berhubungan dengan herediter dan faktor-faktor pertumbuhan, misalnya gangguan hormonal dan metabolisme.

  • Faktor eksternal, misalnya trauma kronis, iritasi termal kronis (panas/dingin), kebiasaan buruk yang kronis, dan obat-obatan.

Jika etiologi dihilangkan maka perkembangan tumor ini akan berhenti, karena seperti yang dijelaskan di awal neoplasia ini tidak mengalami mutasi gen yang membawa keabnormalan terus-menerus.

Patogenesis

Etiologi seperti yang disebutkan di atas, misalnya iritasi kronis, dapat mengganggu proses perbaikan jaringan yang mengalami iritasi. Iritasi yang awalnya memicu perbaikan jaringan rusak akan terus membuat proses perbaikan terus menerus. Sel-sel yang baru selesai diperbaiki, dipicu lagi untuk membelah sebelum sel benar-benar matur. Seharusnya sel mengalami proses pematangan terlebih dahulu sebelum ke pembelahan berikutnya. Akibatnya, terjadi penumpukan sel-sel normal hasil perbaikan tanpa adanya perubahan gen atau mutasi yang mengarah pada pembentukan neoplasia. Awal pertumbuhan jaringan baru abnormal ini tidak menimbulkan rasa sakit karena memang selnya normal dan tidak mengganggu jaringan sekitarnya. Sel-sel yang tumbuh akan berekspansif dan menekan jaringan di sekitarnya. Jaringan sekitar, yaitu sel-sel parenkim stroma jaringan asli, akan mengalami atrofi dari tekanan yang besar dari tumor sehingga membentuk kapsul dari tumor tersebut.


Kebiasaan buruk kronis yang tidak sesuai pola biologis ternyata dapat menyebabkan kekacauan metabolisme tubuh karena tidak mengikuti ritme tubuh seperti biasa dan dapat menyebabkan hormon-hormon metabolisme menjadi rusak. Jika tidak mengikuti pola tersebut, maka sistem metabolisme tidak akan sinkron dengan aktivitas manusia sehingga tidak dapat mempersiapkan tubuh dengan benar. Selain itu juga adanya gangguan hormonal dan metabolisme dalam hal perbaikan sel dapat menyebabkan tumor jinak. Suatu proses pembelahan sel tentut sudah mempunyai jadwal tersendiri untuk menentukan kapan sel tersebut membelah. Tetapi karena gangguan tersebut, jadwal natural tubuh akan kacau sehingga proses pembelahan sel berlangsung lebih cepat, misalnya dari 10 jam menjadi 9 jam. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa tumor jinak berlangsung lama karena siklus sel hanya mengalami pengurangan waktu tidak terlalu besar. Selanjutnya proses tersebut sama halnya dengan proses pada etiologi iritasi kronis seperti pada skema yang ada di atas.
Seperti yang kita ketahui, keadaan suhu akan mempengaruhi metabolisme tubuh dan sudah pasti akan mempengaruhi kecepatan siklus sel pula. Jika trauma thermal terjadi secara kronis, maka dapat menyebabkan tumor jinak.


Daftar Pustaka
Robbins. 1995. Buku Ajar Patologi I. Alih bahasa : Staff Pengajar Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Jakarta : EGC
Sukardja, I Dewa Gede. 2000. Onkologi Klinik Ed-2. Surabaya : Airlangga University Press
Syafriadi, Mei. 2008. Patologi Mulut Tumor Neoplastik & Non Neoplastik Rongga Mulut Ed-1. Yogyakarta: Andi

Monday, November 23, 2009

DEGENERASI

USIA LANJUT DAN PROSES MENUA

Proses menua dapat dicakup sebagai penimbunan secara terus menerus dari semua perubahan yang terjadi dengan berlalunya waktu. Ini menjadi sebab makin mudahnya seseorang yang telah lanjut usianya menjadi sakit atau mati yang memang merupakan ciri-ciri dari proses menua. Sejak dahulu banyak penelitian telah dilakukan untuk memahami proses menua dengan diajukan berbagai teori. Kini bukti-bukti telah mulai terkumpul yang menunjukkan bahwa proses menjadi tua ialah akibat dart reaksi-reaksi oleh radikal bebas yang terjadi di dalam sel dan jaringan dan yang bersifat merusak. Pada mammalia, reaksi-reaksi radikal bebas terutama bertalian dengan zat asam atau oksigen.

PENGERTIAN USIA LANJUT

Siapakah yang disebut orang usia lanjut? Biasanya seseorang digolongkan ke kelompok usia lanjut berpedoman pada usia kalendernya, dan lazimnya bila dia menginjak usia 50 – 60 tahun. Namun usia kalender tidak selalu dihayati secara sama oleh semua orang. Seseorang merasa dirinya tua tergantung berbagai keadaan, kesehatan tubuh/jiwanya maupun cara orang lain memperlakukan serta norma sosial budaya terhadap proses menjadi tua. Jadi dapat disimpulkan bahwa usia mental dan penghayatan subyektif mengenai diri sendiri (self concept) lebih menentukan "ketuaan" seseorang.

KARAKTERISTIK LANJUT USIA

Merujuk kembali pada hasil ASEAN Teaching Seminar on Psychogeriatric Problems, maka persoalan dan keluhan para usia lanjut meliputi tiga area :
  1. Organo-biologik, misalnya : dementia, gangguan fungsi afektif, sulit tidur, diabetes melitus, hipertensi, dan lain-lain.

  2. Psiko-edukatif seperti perasaan kesepian, kehilangan, ditolak dan tidal( disenangi, hubungan yang tegang. Dengan sanak keluarga, apatis, dan lain-lain.

  3. Sosio-ekonomik dan budaya misalnya : kesulitan keuangan, kesulitan rlendapatkan pekerjaan, tidak punya rumah tempat menetap, dan lain sebagainya.




Penuaan Sel

Penuaan melibatkan diferensiasi dan maturasi organisme dan sel-selnya, pada masa tertentu mengakibatkan kehilangan progresif kemampuan fungsional yang khas untuk penuaan dan akhirnya kematian.

Penuaan sel di sini dapat merupakan penimbunan progresif perubahan-perubahan struktur dan fungsi selama bertahun-tahun yang mengakibatkan kematian sel atau setidak-tidaknya pengurangan kemampuan sel bereaksi terhadap jejas. Suatu penelitian membuktikan bahwa bila fibroblast dibiakan secara in vitro, akan mengalami sekitar 50 ±10 kelipatan dan kemudian berhenti melakukan replikasi. Penelitian ini menunjukan bahwa perubahan-perubahan sel dapat berupa suatu program genetika yang diwariskan dalam sel-sel dan setiap sel memiliki batas waktu hidup replikasi yang ditentukan secara genetik. Dengan adanya pendapat bahwa penimbunan jejas sel yang berulang sejalan dengan waktu dan sel yang memiliki batas waktu hidup tersendiri tersebut, tidak menjadikan kemungkinan ini tidak saling berdiri sendiri, dan keduanya lebih saling berkaitan.

Peneliti lain menyatakan bahwa sel-sel menyatakan bahwa sel-sel yang berpotensi imortal tetapi kesalahan mitosis menhasilkan sel-sel yang digolongkan untuk mati dan akhirnya menggantikan sel-sel yang imortal. Jadi penuaan dan kematian sel merupakan akibat penentuan progresif selama jangka waktu hidup sel dengan informasi genetika yang tidak sesuai akan menghalangi fungsi normal sel. Disetujui bahwa perubahan yang terjadi dalam sel setelah replikasi penting dalam penuaan sel. Secara morfologi sel yang menua dalam perbenihan menjadi besar, kadang-kadang dengan multinukleus, timbul vakuol berbagai ukuran, dan lebih mudah terkena jejas dibandingkan dengan sel-sel yang tidak menua.

Lebih banyak lagi dapat disebut tentang mekanisme yang berkenaan untuk perubahan sel yang terjadi pada penuaan sel, beberapa mekanisme ini mungkin hanya semata-mata merupakan perluasan mekanisme yang terlibat dalam maturasi dan diferensiasi sel dan lainnya disebabkan pengaruh lingkungan yang dapat mengadakan interaksi dengan mekanisme-mekanisme tersebut.



GANGGUAN PENGECAPAN (TASTE DISORDER) PADA USIA LANJUT


Kemampuan untuk mengecap terjadi saat molekul-molekul kecil yang keluar pada saat mengunyah, minum, atau mencerna makanan menyimulasi sel-sel sensori pada mulut dan tenggorokan. Sel-sel tersebut, atau gustatori sel, yang berkelompok pada taste bud lidah dan tenggorokan.

Lidah dapat membedakan empat rasa dasar, yaitu asin, masam, manis dan pahit. Bagian ujung/depan lidah paling peka merasakan yang asin dan manis, bagian samping lidah paling peka terhadap rasa masam sedangkan bagian belakang lidah serta langit-langit paling peka terhadap rasa pahit. Bagian tengah lidah relatif tidak peka terhadap pengenalan rasa.
Gangguan pengenalan rasa dapat dibedakan menjadi tiga macam :
  1. Ageusia adalah hilangnya daya pengecap secara total

  2. Hipogeusia adalah berkurangnya daya pengecapan

  3. Cacogeusia adalah gangguan pengecapan yang ditandai sensasi rasa yang tidak enak pada makanan

Salah satu keluhan yang sering pada lanjut usia (lansia) adalah sering merasakan makanan yang dikonsumsi terasa pahit sehingga lansia tersebut mengalami tidak nafsu makan. Hal ini merupakan salah satu gangguan pengecapan.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Gangguan pengecapan yang terjadi tidak terlepas dari peranan lidah dan air ludah yang mengalami gangguan pada lansia karena penyakit atau gangguan tertentu. Xerostomia atau gangguan dalam produksi saliva sangat berpengaruh dalam hal pengecapan sehingga dalam hal ini etiologi pada xerostomia juga dapat menyebabkan ganggauan pengecapan.

Suatu zat hanya dapat dinikmati rasanya jika larut dalam air ludah. Melalui pori pengecap suatu zat dapat mencapai sel-sel pengecap dan mempengaruhi ujung-ujung sel-sel pengecap dan sesudahnya melalui serabut-serabut saraf akan menghasilkan respons saraf sehingga seseorang dapat merasakan rasa makanan (mengecap). Dengan berkurangnya produksi saliva pada usia lanjut, sel-sel pengecap akan mengalami kesulitan dalam menerima rangsang rasa.

Pada awal kelahiran, manusia memiliki 10.000 taste bud, tetapi setelah usia 50 tahun, taste bud akan mengalami penurunan fungsi bahkan banyak yang mengalami kematian sehingga taste bud berkurang. Berkurangnya produksi saliva pada usia lanjut juga dapat menyebabkan mukosa rongga mulut menjadi kering dan rentan terhadap gesekan. Gesekan ini akan menambah dampak pengurangan taste bud pada usia lanjut.

Mulut yang kering, rasa terbakar pada rongga mulut, dan fungsi indra pengecap yang menurun karena aliran saliva yang berkurang sering ada hubungannya dengan kekurangan vitamin B kompleks. Kandungan prialin saliva akhirnya juga menurun dan pencernaan amilase tidak dimulai dari rongga mulut sehingga pankreas bekerja lebih berat. Saliva semakin bersifat alkali terutama pada pasien yang ompong. Saliva juga menjadi lengket sehingga mudah terjadi iritasi mekanis.

Selain itu, xerostomia yang juga menyebabkan preposisi, yaitu berubahnya suatu kuantitas komposisi pada saliva terutama komposisi mineral seng (zinkum/Zn). Kadar Zn pada air ludah orang dewasa berkisar 90-120 ìg/100 ml. Mineral Zn berperanan di dalam fungsi berbagai indera seperti melihat, mencium bau dan mengecap. Zn mrupakan kofaktor pembentukan alkaline fosfatase yang merupakan enzim yang banyak pada membrana taste bud.

Xerostomia memang dapat menyebabkan gangguan pengecapan, tetapi ada hal lain yang berhubungan dengan gangguan penciuman. Pada orang-orang lanjut usia yang mengalami gangguan saluran pernafasan atas juga akan mengalami gangguan pengecapan.

GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gejala klinis pada orang-orang usia lanjut biasanya adalah berkurangnya nafsu makan yang mengarah pada penurunan berat badan.
Saat terjadi perubahan sensasi rasa pada lidah, seseorang akan mengubah pola makannya. Pada beberapa orang akan kehilangan berat badan karena kehilangan selera makan tetapi pada beberapa orang akan makan terlalu banyak dan akan kelebihan berat badan. Penurunan pengecapan rasa dapat memperparah penyakit sistemik lainnya. Untuk mempernyaman pengecapan yang tidak nyaman, seseorang akan mengkonsumsi rasa manis dan asin, seperti gula dan garam. Dengan demikian penyakit seperti diabetes melitus dan hipertensi akan semakin parah.

PEMERIKSAAN
  1. The Drop Technique
  2. Digunakan 4 mcm rasa manis (gula pasir), pahit (kinin), kecut/asam (lar. Asam cuka) dan asin (larutan garam). Penderita diminta utk mengidentifikasi rasa dari bahan tes yang diletakkan diatas lidah sambil menutup hidung
  3. Elektrogustometri
  4. Tes pengecapan secara kuantitatif


Daftar Pustaka
Robins dan Kumar. 1998. Buku Ajar Patologi I Edisi 4. Jakarta : EGC

Friday, July 24, 2009

KLASIFIKASI PENYAKIT PERIODONTAL

Penyakit periodantal merupakan penyakit inflamasi pada jaringan penyangga gigi yang disebabkan mikroorganisme dan menimbulkan destruktif yang progresif pada ligamen periodontal dan tulang alveolar, menimbulkan poket, resesi, atau kedua-duanya.

AAP (American Academy of Periodontology) International for Classification of Periodontal Workshop Disease 1999 memberikan klasifikasi penyakit periodontal, sebagai berikut :

Peyakit Gingiva


  1. Penyakit gingiva yang diinduksi plak

    • Gingivitis yang berhubungan hanya dengan dental plak

    • Penyakit gingiva yang dimodifikasi oleh keadaan sistemik

    • Penyakit gingiva yang dimodifikasi oleh medikasi

    • Penyakit gingiva yang dimodifikasi oleh malnutrisi

  2. Penyakit gingiva yang diinduksi non-plak

    • Penyakit gingiva disebabkan oleh spesifik bakteri

    • Penyakit gingiva disebabkan oleh virus

    • Penyakit gingiva disebabkan oleh jamur

    • Manifestasi pada gingiva oleh keadaan sistemik

    • Traumatik lesi

    • Reaksi tubuh terhadap benda asing

    • Selain itu tidak terspesifikasi (idiopatik)

Peyakit Periodontal


  1. Periodontisis kronis

    • Localized

    • Generalized

  2. Periodontitis Agresif

    • Localized

    • Generalized

  3. Periodontitis sebagai manifestasi penyakit sistemik

  4. Necrotizing periodontal

    • Necrotizing ulserative gingivitis (NUG)

    • Necrotizing ulserative periodontitis (NUP)

  5. Abses periodonsium

    • Abses gingiva

    • Abses periodontal

    • Abses perikoronal

Wednesday, June 17, 2009

Download e-book Kedokteran Gigi Periodontal

Dapat dari googling ^^

Clinical Periodontology and Implant Dentistry oleh Jan Lindhe


Download Zip
Klik di sini

Download Rar
Klik di sini
atau
Klik di sini

Carranza Clinical Periodontology 9th Edition


Klik di sini (Part 1)
Klik di sini (Part 2)

Sunday, June 14, 2009

Keratinisasi Mukosa Rongga Mulut

Mukosa rongga mulut merupakan bagian yang paling mudah mengalami perubahan, karena lokasinya yang sering berhubungan dengan pengunyahan, sehingga sering pula mengalami iritasi mekanis. Di samping itu, banyak perubahan yang sering terjadi akibat adanya kelainan sistemik.

Trauma pada rongga mulut dapat menyebabkan perubahan-perubahan epitel pada rongga mulut. Perubahan itu bisa berupa kelainan bertanduk atau kelainan keratinisasi. Keratinisasi adalah proses pembentukan keratin dalam jaringan epidermis atau mukosa sehingga struktur jaringan menjadi keras. Kelainan keratinisasi tersebut dapat berupa epitelium yang terkeratinisasi pada daerah epitelium yang biasanya tidak terkeratinisasi, atau keratinisasi yang berlebihan pada daerah yang normalnya memang terkeratinisasi.

Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah bentuk lebih poligonal yaitu sel spinosum, terangkat lebih ke atas menjadi lebih gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk. Sel tanduk secara kontinu lepas dari permukaan kulit dan diganti oleh sel yang terletak di bawahnya. Proses keratinisasi sel dari sel basal sampai sel tanduk berlangsung selama 14-21 hari.
Perubahan keratinisasi sel epitelium secara histologis diantaranya :
  1. Hiperkeratosis

  2. Proses ini ditandai dengan adanya suatu peningkatan yang abnormal dari lapisan ortokeratin atau stratum corneum, dan pada tempat-tempat tertentu terlihat dengan jelas. Dengan adanya sejumlah ortokeratin pada daerah permukaan yang normal maka akan menyebabkan permukaan epitel rongga mulut menjadi tidak rata, serta memudahkan terjadinya iritasi.

  3. Hiperparakeratosis

  4. Parakeratosis dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan melihat timbulnya pengerasan pada lapisan keratinnya. Parakeratin dalam keadaan normal dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu di dalam rongga mulut. Apabila timbul parakeratosis di daerah yang biasanya tidak terdapat penebalan lapisan parakeratin maka penebalan parakeratin disebut sebagai parakeratosis. Dalam pemeriksaan histopatologis, adanya ortokeratin dan parakeratin, hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang lebih teliti lagi akan ditemukan hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana lapisan granularnya terlihat menebal dan sangat dominan. Sedangkan hiperparakeratosis sendiri jarang ditemukan, meskipun pada kasus-kasus yang parah.

  5. Akantosis

  6. Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang abnormal dari lapisan spinosum pada suatu tempat tertentu yang kemudian dapat menjadi parah disertai pemanjangan, penebalan, penumpukan dan penggabungan dari retepeg atau hanya kelihatannya saja. Terjadinya penebalan pada lapisan stratum spinosum tidak sama atau bervariasi pada tiap-tiap tempat yang berbeda dalam rongga mulut. Bisa saja suatu penebalan tertentu pada tempat tertentu dapat dianggap normal, sedang penebalan tertentu pada daerah tertentu bisa dianggap abnormal. Akantosis kemungkinan berhubungan atau tidak berhubungan dengan suatu keadaan hiperortikeratosis maupun parakeratosis. Akantosis kadang-kadang tidak tergantung pada perubahan jaringan yang ada di atasnya.

  7. Diskeratosis atau displasia

  8. Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk mendiagnosis suatu displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang jelas antara displasia ringan, displasia parah, dan atipia yang mungkin dapat menunjukkan adanya suatu keganasan atau berkembang ke arah karsinoma in situ. Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis adanya displasia epitel adalah: adanya peningkatan yang abnormal dari mitosis; keratinisasi sel-sel secara individu; adanya bentukan epithel pearls pada lapisan spinosum; perubahan perbandingan antara inti sel dengan sitoplasma; hilangnya polaritas dan disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya pembesaran inti sel atau nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia dan giant nuclei; pembelahan inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma; serta adanya basiler hiperplasia dan karsinoma intra epitel atau carcinoma in situ.
    Pada umumnya, antara displasia dan carsinoma in situ tidak memiliki perbedaan yang jelas. Displasia mengenai permukaan yang luas dan menjadi parah, menyebabkan perubahan dari permukaan sampai dasar. Bila ditemukan adanya basiler hiperlpasia maka didiagnosis sebagai carcinoma in situ.
    Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan granuler. Mungkin secara klinis carcinoma in situ kurang dapat dilihat. Hal ini berbeda dengan hiperkeratosis atau leukoplakia yang dalam pemeriksaan intra oral kelainan tersebut tampak jelas.


Linea Alba Bukalis


Merupakan temuan intraoral dengan perubahan warna yang tampak sebagai garis bergelombang putih, menimbul, dengan panjang yang bervariasi dan terletak pada garis oklusi dari mukosa pipi. Kelainan tanpa gejala ini umumnya memanjang dari mukosa pipi daerah M2 sampai ke C dengan lebar 1-2 mm. Lesi ini biasanya dijumpai bilateral dan tidak dapat dihapus. Gesekan gigi-gigi dapat menyebabkan perubahan-perubahan epitel yang menebal dan terdiri dari jaringan hiperkeratotik. Keadaan tersebut seringkali dikaitkan dengan crenated tongue dan dapat merupakan tanda dari bruksism, clenching, atau tekanan mulut yang negatif. Gambaran klinisnya menunjukkan ciri diagnostik dan tidak perlu perawatan.

DAFTAR PUSTAKA
Harty, F.J. dan R. Ogston. 1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Wasiaatmaja, Syarif M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI Press [halaman 11-15]
Langlais, Robert R. dan Craig S. Miller. 1998. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Jakarta: Hipokrates

Monday, June 8, 2009

Sekilas tentang Patogenesis Herpes

Baik untuk dokter maupun dokter gigi, mulut merupakan bagian tubuh yang penting, yang dapat terserang penyakit lokal atau ikut berperan pada berbagai keadaan sistemis. Bidang penyakit mulut dapat didefinisikan sebagai diagnosa dan perawatan keadaan ‘medis’ rongga mulut dan struktur yang berhubungan dengannya, termasuk relasi mulut dan wajah yang tidak dapat dipisahkan sebagai satu kesatuan.

PATOGENESIS INFEKSI VIRUS HERPES
Virus herpes simpleks merupakan organisme berbentuk silindris serta terdiri terutama dari DNA, berukuran kira-kira 10 µm, tetapi memiliki sarung yang mudah larut, sehingga organisme tampak dua kali lebih besar dari ukuran yang sebenarnya.
Virus mempunyai kecenderungan untuk menyerang sel epitelial dan sel akan menunjukan perubahan sitologi yang meliputi :
  • Perkembangan badan nukleus inklusi (inklusi sel = konstitusi sitoplasma sel yang pada umumnya tidak bernyawa dan sering hanya bersifat sementara)

  • Giant sel multinukleus

  • Kerusakan sel

Perubahan sitologi terdiri dari penggabungan sel yang normal dengan sel yang terinfeksi, untuk membentuk masa sinsisial yang kecil (giant sel) dengan nukleus lebih dari satu. Pada beberapa keadaan, dapat terjadi pembelahan nuklei tanpa pembelahan sitoplasma, sehingga akan terbentuk giant sel multinukleat yang lain. Sel-sel ini terlihat jelas pada hapusan sel lesi herpes dan sering disebut sebagai mulbery sel. Di antara tanda-tanda histologi dari lesi herpes, sitolisis merupakan tanda yang paling jelas, dengan disertai pembentukan vesikel intra epitelial. Epitelial dasar vesikel dapat sangat rusak sehingga vesikel terletak subepitelial. Sel-sel pada tepi vesikel dapat menunjukan tanda-tanda seperti di atas tetapi tanda tersebut terlalu jelas terlihat pada pemeriksaan histologi. Infeksi herpes simpleks mempunyai hubungan dengan respon antibodi.



Herpes varisela – infeksi Zooster mirip dengan herpes simpleks, yaitu pada struktur virus, pola infeksi (terdapat kontak primer, infeksi sistemis akut/infeksi ulang), maupun patologi lesi epitelial. Selain itu pada tiap lesi berubag dari makula menjadi papula dan vesikel, yang membentuk borok dan infeksi sekunder.

Sumber : Gayford dan Haskell. 1990. Penyakit Mulut (Clinical Oral Medicine). Jakarta: EGC

Tinjauan Pustaka : Infeksi Jaringan Lunak Rongga Mulut

PENDAHULUAN
Beberapa mikroorganisme, seperti bakteri, spirochaeta, riketsia, klamidia, mikoplasma, jamur, ragi, dan protozoa dapat menginfeksi tubuh manusia. Beberapa diantaranya secara normal dan tidak berbahaya (komensal); beberapa lainnya bahkan menguntungkan (saprofit). Tetapi, banyak juga yang patogen, menyebabkan penyakit dengan merusak jaringan dan sel hospes. Perbedaan ini kendati berguna, tidak selalu demikian; di bawah keadaan tertentu (misalnya imunosupresi), organisme komensal dapat menjadi patogen, menimbulkan infeksi oportunistik.
Jenis, luas, dan beratnya kerusakan mikroorganisme yang disebabkan tiap mikroorganisme patogen dipengaruhi juga oleh sejumlah faktor yang berperan saat timbul infeksi. Faktor tersebut bisa berasal dari mikroorganisme atau hospes.

  1. Faktor Mikroorganisme

    • Jalan masuk

    • Untuk menyebabkan penyakit, organisme harus mendapatkan jalan masuk ke sel dan jaringan tubuh, dan kebanyakan masuk melalui saluran pernapasan atau tractus gastrointestinal. Organisme komensal bisa menjadi patogen bila dipindahkan ke daerah lain, misalnya Streptococcus viridans yang memasuki sirkulasi darah dapat menyebabkan endokarditis.

    • Dosis dan virulensi

    • Dosis menunjukkan jumlah organisme yang memasuki tubuh dan virulensi mencerminkan kemampuannya menyebabkan penyakit. Secara umum, makin besar dosisnya, makin besar kemungkinan timbulnya penyakit, tetapi makin tinggi virulensi makin sedikit organisme yang diperlukan. Dalam spesies, strain yang berbeda akan menunjukkan virulensi yang berbeda pula.

    • Kemampuan invasi

    • Menunjukkan kemampuan untuk berbiak dan menyebar. Invasi dipermudah oleh produksi enzim ekstraselular dan endotoksin. Endotoksin, berhubungan erat dengan dinding sel organisme, dilepaskan saat autolisis untuk menimbulkan kerusakan sel jaringan hospes enzim ekstraseluler (misalnya koagulase, kolagenase, dan hialuronidase) menghancurkan jaringan setempat dan melindungi organisme dari mekanisme pertahanan tubuh. Selain itu, eksotoksin yang disekresikan ke sekitarnya oleh organisme dapat menyebabkan efek toksin jarak jauh atau merata.

    • Penyebaran

    • Kelangsungan hidup jangka panjang setiap mikroorganisme tergantung pada kemampuannya untuk berpindah ke hospes lain yang lebih sesuai. Jadi, banyak yang ditularkan melalui hembusan dari saluran penapasan atau yang lain; beberapa diantaranya membentuk spora penahan, ada pula yang memerlukan vektor antara spesifik, yaitu binatang; beberapa lainnya membutuhkan kontak fisik intim.


  2. Faktor Hospes

    • Barier fisik

    • Kulit dan membrana mukosa utuh memberikan rintangan penting terhadap infeksi. Banyak organisme patogen membutuhkan adanya kerusakan dalam jaringan untuk mendapatkan jalan masuk. Selain itu, kulit dan banyak permukaan mukosa lain secara normal ditutupi oleh sejumlah organisme komensal yang membantu melawan pembentukan organisme patogen.

    • Barier fisiologis

    • Banyak barier fisiologis mencegah organisme patogen mendapat jalan masuk, termasuk sekresi kulit, enzim saliva di dalam mulut dan pH asam di dalam perut. Bila organisme patogen memasuki sirkulasi darah, biasanya dikeluarkan oleh sel sistem fagosit mononukleus (sel sistem retikuloendoteliel) yang tersebar di seluruh tubuh.

    • Respon peradangan

    • Organisme patogen adalah penyebab utama radang kronis dan akut, serta respon peradangan adalah salah satu mekanisme pertahanan alamiah tubuh yang palinng penting.

    • Respon imunologis

    • Memberikan perlawanan dan imunitas terhadap agen-agen penyebab infeksi tertentu.

    • Faktor-faktor lokal

    • Gambaran tertentu di tempat masuk organisme patogen akan membantu infeksi dan menghalangi pemberantasan. Beberapa organisme adalah anaerob, jadi memerlukan hipoksia setempat.

    • Faktor-faktor sistemik

    • Beberapa kondisi sistemik atau penyakit memudahkan terjadinya infeksi, dalam hal ini termasuk malnutrisi, alkoholik kronik, diabetes melitus, sindroma Cushing, dan keadaan umum lemah seperti penyakit keganasan yang telah menyebar dan payah ginjal kronik.

    • Usia

    • Baik orang sangat muda ataupun sangat tua, keduanya mempunyai kerentanan yang meningkat terhadap penyakit infeksi.

    • Obat

    • Obat antimikroba yang tepat dalam konsentrasi darah adekuat membantu membasmi banyak mikroorganisme rentan.
(Lawyer, 1992 : 18-19)


BEBERAPA INFEKSI SPESIFIK
Rongga mulut dihuni oleh berbagai jenis mikroorganisme yang membentuk mikroflora yang komensal. Mikroflora ini biasanya mengandung bakteri, mikoplasma, jamur, dan protozoa, yang kesemuanya dapat menimbulkan infeksi oportunistik simtomatik tergantung pada faktor-faktor lokal atau daya pertahanan tubuh pejamu yang rendah. Sebagai tambahan, sejumlah virus dapat menimbulkan lesi orofasial atau hadir secara asimtomatis di dalam saliva pada saat timbulnya infeksi virus secara sistemik atau pada pembawa yang sehat.

  1. Infeksi yang Disebabkan oleh Bakteri

  2. Bakteri endogenous terutama terlibat dalam dua penyakit manusia yang paling umum yaitu penyakit periodontal dan karies gigi. Walaupun jarang, kondisi-kondisi menular seperti tuberkulosis, gonorhoe, serta sifilis dapat menimbulkan pengaruh pada mukosa mulut sehingga dirasakan sangat penting untuk diketahui.

    • Tuberkulosis

    • Dahulu, infeksi sekunder mukosa mulut yang disebabkan oleh Myobacterium tuberculosis yang terdapat dalam dahak penderita tuberkulosis pulmoler aktif merupakan hal yang biasa dan umum. Tapi tuberkulosis oral dewasa ini sudah jarang terjadi di Eropa dan Amerika Utara, walaupun ada kenaikan insiden penderita AIDS. Lesi intraoral biasanya terbentuk pada permukaan dorsal lidah tetapi dapat juga terjadi pada tempat lain.

    • Gonorhoe

    • Penyakit kelamin menular ini di beberapa negara telah mencapai tahap epidemik dan kesehatan rongga mulut sudah terdiagnosis sebagai akibat seksualitas yang meningkat di antara orang dewasa terutama pada pria homoseksual. Lesi primer dapat terjadi akibat kontak orogenital. Penderita mengeluh tentang rasa sakit pada mukosa mulut diiringi dengan adanya perubahan pengecapan, halitosis, dan limfadenopatik. Pemeriksaan klinis menunjukkan tanda-tanda yang bervariasi, termasuk eritema, edema, ulserasi, dan pseudomembran, terutama di daerah tonsil dan faring.

    • Sifilis

    • Lesi primer dari penyakit kelamin umumnya terjadi di daerah genetalia, dapat juga dijumpai pada bibir atau mukosa mulut sebagai akibat kontak orogenital.
      Lesi primer dan sifilis bawaan ditandai oleh timbulnya nodul yang pecah setelah beberapa hari dab meninggalkan borok/luka dengan tepi keras yang tidak sakit. Biasanya terjadi pembengkakan serta kekenyalan kelenjar limfe servikal. Lesi primer (chancre) ini sangat infektif dan oleh karena itu harus diperiksa dengan hati-hati. Sifilis primer biasanya mereda setelah 8-9 minggu tanpa meninggalkan jaringan parut.
      Sifilis sekunder secara klinis akan muncul kira-kira 6 minggu setelah infeksi primer dan ditandai oleh sebuah ruam makular atau papular, demam, lesu, sakit kepala, limfadenopati umum, serta sakit pada tenggorokan. Pada kira-kira sepertiga penderita, mukosa akan terlibat dan lesi digambarkan sebagai ‘lesi jejak siput’. Sifilis sekunder ini akan hilang dalam 2-6 minggu.
      Sifilis dapat terjadi laten dan menimbulkan lesi tersier beberapa tahun setelah infeksi pertama. Dua lesi yang dikenali sebagai tanda sifilis tersier adalah gumma di langit-langit, serta leukoplakia pada permukaan dorsal lidah.

  3. Infeksi yang Disebabkan oleh Jamur

  4. Walaupun berbagai jamur dapat menimbulkan penyakit orofasial, sebagian besar kondisi fungal disebabkan oleh spesies Candida.
    Kira-kira 40% dari populasi mempunyai spesies candida di dalam muut dalam jumlah kecil sebagai bagian yang normal dari mikroflora oral. Kandidosis oral telah dinyatakan sebagai ‘penyakit dari yang berpenyakit’ karena kandidosis seringkali mengindikasikan adanya penyakit yang mendasari timbulnya proliferasi komponen candida dari flora mulut. Spektrum spesies candida yang dapat terbentuk di dalam rongga mulut meliputi Candida albicans, Candida glabrata, Candida tropicalis, Candida pseudotropicalis, Candida guillerimondi, serta Candida krusei. Walaupun setiap spesies candida dapat menimbulkan infeksi mulut, sebagian besar kasus disebabkan oleh Candida albicans. Sejumlah faktor predisposisi dilibatkan dalam terjadinya kandidosis oral.

  5. Infeksi yang Disebabkan oleh Virus

  6. Banyak virus dapat menimbulkan penyakit oral dan perioral. Berjenis-jenis virus, seperti kelompok herpes, menimbulkan erosi atau ulserasi, tetapi jenis lainnya seperti misalnya virus papilloma manusia dapat menimbulkan pertumbuhan mukosa yang berlebihan.

    • Virus Kelompok Herpes

    • Virus kelompok ini, yang terdiri atas Herpes simpleks tipe I, Herpes simpleks tipe II, Varicella Zooster, virus Epstein-Barr dan sitomegalovirus, bertanggung jawab atas sebagian besar lesi mukosa mulut yang disebabkan oleh virus.
      Varicella Zooster
      Lesi primer oleh virus Varicella Zooster dapat menimbulakan cacar air, sementara pengaktifan kembali virus ini dapat menimbulkan herpes zooster.
      Cacar air, sebuah penyakit menular yang umum terjadi pada anak-anak, dikarakteristikan oleh adanya ruam kulit makulopapular. Lesi ini akan timbul pada batang tubuh dan menyebar ke wajah dan anggota badan. Pada kebanyakan penderita cacar air, lesi kutaneus dapat mendahului disertai denga timbulnya ulser kecil (diameter 2-4 mm) di palatum dan daerah fausial. Pengaktifan kembali Varicella zoosterpada simpul (ganglia) saraf sensoris menimbulkan nyeri hebat yang diikuti dengan mukolobulus kutaneus atau lesi mukosa.
      Virus Epstein-Barr
      Virus Epstein-Barr biasanya menimbulkan infeksi mononukleosis, yang dikarakteristikan oleh pembesaran kelenjar limfe, demam, serta inflamasi faringeal. Kira-kira 30% penderita juga akan mengalami purpura atau petechiae di palatum serta ulserasi mukosa. Kadang-kadang dapat timbul perdarahan pada gusi dan ulserasi yang mirip dengan ulserasi akut yang ternekrotisasi. Kondisi ini terutama terjadi pada anak-anak atau dewasa muda dan diperkirakan transmisinya adalah melalui saliva.

    • Papillomavirus Manusia

    • Hingga kini, lebih dari 65 jenis papillomavirus manusi (HPV) sudah diidentifikasikan. Golongan virus DNA ini sudah diketahui dampaknya pada pembentukan papillomatus hiperplasti dan lesi sel skuamosa verukosis pada kulit serta berbagai tempat di mukosa. Tetapi perlu ditekankan bahwa keterlibatan dan penelitian mengenai peranan virus tersebut dalam penyakit mulut sedang dilakukan.
(Lewis dan Lamay, 1994 : 37-45)



Daftar Pustaka
Lawler, W., Ahmed, A., Hume, W.J., 1992. Buku Pintar Patologi Untuk Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Lewis & Lamay. 1994. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Jakarta: Widia Medika

PENYAKIT DENTOMAKSILOFASIAL I

Blok ini mempelajari patogenesis, gambaran klinis, dan metode pemeriksaan dari berbagai macam penyakit dentomaksilofasial yang disebabkan infeksi dan trauma.

Posting-posting untuk setiap blok saya putuskan untuk menampilkannya sekaligus setiap satu blok berakhir.
Jadi, blog saya tidak akan update jika satu blok belum berakhir.
Untuk sementara, posting-posting hanya saya simpan sebagai draft dan tidak di-publish.
Untuk saat ini blok yang saya tempuh yaitu blok Penyakit Dentomaksilofasial I, tetap bersama teman-teman kelompok tutorial 6 ^^ Blok ini akan berakhir pada tanggal 25 Juli 2009 dan akan diupdate sesegera mungkin setelah tanggal 25 Juli 2009

Sunday, May 3, 2009

Investment Material (Bahan Pendam)

Investment material adalah material yang digunakan untuk menutupi atau mengelilingi pola dari restorasi kedokteran gigi untuk pengecoran (casting) atau molding atau untuk menjaga relasi dari bagian logam saat pematrian.
(Sumber : Zwemer, Thomas J. 2008. Mosby’s Dental Dictionary 2nd Edition. Elsevier)


TIPE-TIPE BAHAN PENDAM

Terdapat tiga tipe bahan pendam dan semuanya mengandung silika (SiO2) sebagai substansi pengeras (refractory substance). Perbedaan pada tiga tipe ini terletak pada tipe substansi pengikatnya (binder subtance) yang digunakan, yaitu:
1. Bahan pendam gypsum-bonded
Paling sering digunakan untuk alloy emas, tetapi tidak cocok untuk alloy yang mencair pada suhu yang mendekati 1200°C.
2. Bahan pendam phosphat-bonded
Dipergunakan untuk penuangan alloy kobalt kromium karena bahan ini sanggup menerima suhu yang lebih tinggi.
3. Bahan pendam silica-bonded
Merupakan pilihan lain untuk bahan pendam phosphat-bonded untuk penuangan pada suhu tinggi.
(Sumber : Combe, E.C. 1992. Sari Dental Material. Jakarta: Balai Pustaka)



BAHAN PENGERAS (REFRACTORY SUBTANCE)

Silika (SiO2) ditambahkan untuk memberikan sifat refraktori selama pemanasan dari bahan tanam untuk mengatur ekspansi termal.

Saat manipulasi, mold dipanaskan untuk menghilangkan model malam. Sebagai contoh, gipsum sebagai bahan pengeras akan menyusut lebih besar sewaktu pemanasan. Dengan ditambahkannya silika, diharapkan sewaktu pemanasan, bahan tanam memuai secara termal untuk mengkompensasi sebagian atau seluruh penyusutan pengecoran logam campur emas. Jika digunakan bentuk silika yang tepat di dalam bahan tanam, kontraksi selama pemanasan ini dapat dihilangkan dan diubah menjadi ekspansi.

Silika terdapat dalam empat bentuk alotropik, yaitu quartz, tridymite, kristobalit, dan quartz gabungan. Quartz dan kristobalit adalah bentuk silika yang paling sering digunakan di kalangan kedokteran gigi. Jika bentuk-bentuk ini dipanaskan, akan terjadi perubahan bentuk kristal pada temperatur transisi yang khas pada masing-masing bentuk silika. Perubahan tersebut dari bentuk ‘rendah’ α-alotropik menjadi bentuk ‘tinggi’ β-alotropik dimana bentuk α-alotropik hanya stabil di atas temperatur transisi dan perubahan bentuk α terjadi pada pendinginan di setiap keadaan. Contohnya jika quartz dipanaskan pada suhu 575°C, α-quartz berubah menjadi bentuk yang disebut β-quartz. Untuk kristobalit, akan mengalami perubahan yang sama dari α-kristobalit menjadi β-kristobalit pada suhu antara 200°C dan 270°C. Sedangkan pada tridymite mengalami perubahan bentuk pada pemanasan suhu 117°C dan 163°C.

Perubahan bentuk α menjadi β ini diikuti dengan peningkatan volume, sehingga kepadatannya berkurang. Dengan adanya peningkatan volume, penyusutan gipsum dapat dilawan karena penambahan satu atau beberapa silika kristalin.

(Sumber : Annusavice, Kenneth J. 2003. Phillips: Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC)



HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN SELAMA MANIPULASI


1. Ekspansi Pengerasan yang Normal

Dengan adanya pencampuran bahan pengeras dan bahan pengikat, ekspansi pengerasan menjadi lebih besar untuk bahan pengikat tanpa pencampuran dengan bahan pengeras. Tujuan dari ekspansi pengerasan adalah membantu memperbesar mold untuk mengkompensasi sebagian dari penyusutan sewaktu pengecoran logam emas.
Kondisi manipulasi yang meningkatkan panas eksotermis akan meningkatkan keefektifan ekspansi pengerasan (misalnya, makin kecil rasio W:P untuk bahan tanam, makin besar ekspansi pengerasan yang efektif).

2. Ekspansi Pengerasan Higroskopis

Ekspansi pengerasan higroskopis berbeda dengan ekspansi pengerasan normal. Ekspansi ini terjadi bila bahan tanam dibiarkan mengeras di dalam atau berkontak dengan air dan bahwa ekspansi ini dapat lebih besar enam kali atau lebih daripada ekspansi pengerasan normal bahan tanam. Faktor penting dalam mengontrol ekspansi pengerasan higroskopis, yaitu:
a. Efek komposisi
Makin besar ukuran partikel silika, makin besar ekspansi higroskopisnya.
b. Efek rasio W:P
Makin tinggi rasio W:P, makin rendah ekspansi higroskopisnya.
c. Efek spatulasi
Makin lama pengadukan, ekspansi higroskopis akan bertambah.
d. Umur bahan tanam
Makin tua umur bahan tanam, makin kecil ekspansi higroskopisnya.
e. Efek waktu perendaman
Makin lama penundaan perendaman bahan tanam dalam bak air, makin kecil ekspansi higroskopisnya.
f. Efek pembatasan
Baik ekspansi pengerasan normal maupun higroskopis dibatasi oleh tekanan yang berlawanan, seperti dinding wadah bahan tanam atau dinding model malam. Tetapi, efek pembatasan lebih besar terjadi pada ekspansi higroskopis.
g. Efek jumlah air yang ditambahkan
Ekspansi higroskopis berbanding lurus dengan jumlah air yang ditambahkan selama periode pengerasan sampai terjadi ekspansi maksimal.

3. Ekspansi Termal
Ekspansi termal langsung berhubungan dengan jumlah silika yang ada dan jenis silika yang digunakan. Besar ekspansi termal yang diinginkan dari bahan tanam tergantung pada kegunaanya. Faktor penting dalam mengontrol ekspansi termal, yaitu:
a. Efek rasio W:P
Makin banyak air yang digunakan dalam pengadukan bahan tanam, makin kurang ekspansi termal yang diperoleh sewaktu pemanasan lebih lanjut.
b. Efek modifier kimia
Bahan modifier kimia memiliki efek-efek tertentu, yaitu:
- Silika : Jika jumlahnya terlalu besar, dapat mencegah kontraksi secara berlebih selama pemanasan. Dapat diatasi dengan penambahan sejumlah kecil natrium, kalium, atau lithium klorida.
- Asam borat : Mengeraskan bahan tanam yang sudah mengeras. Selama pemanasan akan terjadi disintegrasi dan akan menyebabkan hasil pengecoran dengan permukaan kasar.

4. Kontraksi Termal
Sesungguhnya, bahan tanam akan berkontraksi kurang dari dimensi semula. Hal ini tidak berhubungan dengan sifat silika, tetapi karena penyusutan gipsum ketika dipanaskan pertma kali.
Bahan tanam tidak boleh dipanaskan dua kali karena dapat terbentuk retak internal.

(Sumber: Annusavice, Kenneth J. 2003. Phillips: Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC)



ASBESTOS LINER


Asbestos merupakan suatu mineral silikat yang tahan api, berserat, digunakan pada proses pengecoran logam di laboratorium. Dulu digunakan dalam dresing periodontium. Inhalasi debu asbes dapat menyebabkan radang paru. Asbestos liner berupa lembaran pita basah yang diletakkan melapisi bagian dalam bumbung tuang sebelum manipulasi investment material dilakukan.
(Sumber : Harty, F.J. dan R. Ogston. 1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC)

Potensi resiko untuk kesehatan dari penggunaan asbestos ring liner nampaknya rendah. Hal ini dapat diketahui dari penyaringan serat asbestos dari sampel udara yang dikumpulkan saat casting dengan bumbung tuang yang dilapisi asbestos liner. Serat ini kemudian dihitung dengan menggunakan phase-contrast microscopy dan transmission electron microscopy. Konsentrasi dari serat-serat ini sebesar 5 mikron atau lebih besar pada semua penyaring. Ukuran ini lebih kecil daripada yang dijinkan oleh petunjuk federal, sehingga aman digunakan.
(Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7473284)

Bumbung tuang dilapisi dengan pita asbestos basah bertujuan untuk :
1. Memungkinkan adanya ekspansi cetakan, karena asbestos dapat ditekan sewaktu timbulnya ekspansi. Tanpa adanya asbestos menyebabkan dinding bumbung tuang yang kaku dan tidak memungkinkan terjadinya ekspansi.
2. Turut serta dalam ekspansi higroskopis.
(Sumber : Combe, E.C. 1992. Sari Dental Material. Jakarta: Balai Pustaka)

Thursday, April 16, 2009

Wax atau Malam

Wax merupakan istilah umum untuk merujuk pada campuran rantai panjang apolar lipid membentuk pelindung (kutikula) pada daun tanaman dan buah, juga pada tanaman, alga, fungi, dan bakteri.

Berbagai macam material dengan nama wax tidak dibentuk oleh satu grup struktur kimia yang homogen. Semua wax merupakan bahan tahan air yang terbentuk dari berbagai macam subtansi termasuk hidrokarbon (normal atau bercabang alkana dan alkena), keton, diketon, alkohol primer dan sekunder, aldehid, sterol ester, asam alkanoik, terpenes (squalene), dan monoester (ester wax). Semua dengan rantai yang panjang atau sangat panjang (dari 12 lebih sampai sekitar 38 atom karbon) dan dalam bentuk padat pada rentang yang besar (titik leleh antara 60°-100°C).
Lebih umumnya, wax adalah ester dari suatu alkohol (rantai panjang alkohol, sterol, hidroksi karotenoid, vitamin A) dan rantai asam yang sangat panjang (wax ester). Demikian komponen wax pada umumnya :

(Sumber : http://www.cyberlipid.org/wax/wax0001.htm)

Untuk dental wax sendiri merupakan campuran dua atau lebih wax dengan bahan aditive lainnya, digunakan pada kedokteran gigi untuk pencetakann, konstruksi bahan basis gigi tiruan nonmetalik, merekam hubungan rahang, dan pekerjaan laboratorium.
(Sumber: http://www.igiwax.com/resource/other_industries)


KLASIFIKASI WAX
Berdasarkan sumbernya wax terdiri dari dua macam, yaitu wax alami dan wax sintetik.
1. Wax Alami
a. Animal Waxes
Contohnya yaitu pada bee wax yang merupakan hasil sekresi abdominal dari lebah jenis Apis mellifera. Warna wax tergantung pada jenis bunga. Komponennya berupa palmitat, palmitoleate, hidroksipalmitat, dan oleate ester dengan rantai panjang alkohol. Digunakan sebagai bahan modeling dan memiliki titik leleh 62°-65°C.
b. Vegetal Waxes
Contohnya pada jenis carnauba wax dan candelila wax.
Pada carnauba wax juga dikenal sebagai queen of waxes. Merupakan hasil sekret dari daun pohon palem (Copernicia prunifera cerifera), tiap 100 gr untuk satu pohon dalam satu tahun. Komposisinya terdiri dari fatty ester (80-85%), free alcohol (10-15%), asam (3-6%), dan hidrokarbon (1-3%).
Untuk candelila wax merupakan hasil ekstraksi dari tumbuhan Euphorbia cerifera dan Euphorbia antisyphilitica (Euphorbiaceae). Cara ekstraksinya dengan merebus tanaman tersebut untuk memisahkan wax dan material tanaman. Komposisinya berupa hidrokarbon (sekitar 50% dari C29-C33), ester (28-29%), alkohol, asam lemak bebas (7-9%), dan resin (12-14% triterpenoid ester). Titik leleh candelila wax berada dalam rentang 66°-71°C.
c. Mineral Waxes
Contohnya pada parafin yang merupakan hasil dari petroleum yang mengalami pemanasan tinggi (penyulingan minyak tanah). Komposisinya berupa campuran kompleks hidrokarbon sari metan, dengan sejumlah kecil fase amorf atau mikrokristalin).

2. Wax Sintetik
Seperti wax alami yang serba guna, wax sintetik bisa tahan pada perubahan pada kualitas dan ketersediaan. Terbuat dari etil glikol diester atau triester dengan rantai panjang asam lemah (C18-C36). Titik lelehnya dalam rentang 60°-75°C.

(Sumber : http://www.cyberlipid.org/wax/wax0001.htm dan Anusavice, Keneth J. 2003. Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC)

Tuesday, April 7, 2009

Selamat Datang di Blok Baru : Bahan dan Teknologi Kedokteran Gigi I

Setelah melewati blok sebelumnya, yaitu blok stomatognasi, angkatan 2008 FKG Unej memasuki blok baru di semester 2 ini.
Sebelumnya di blog stomatognasi dipelajari sistem mastikasi dan menelan, flora rongga mulut, dan sistem imun rongga mulut. Juga dibahas tentang pentingnya sistem stomatognasi dan peranannya dalam dunia perawatan masalah kedokteran gigi terutama yang berkaitan dengan pengembalian fungsi kunyah.

Di blok bahan dan teknologi kedokteran gigi I ini akan mempelajari berbagai macam bahan di bidang kedokteran ggi yang meliputi: bahan abrasif, gipsum, bahan pendam, bahan cetak, malam, dan logam serta manipulasinya.

Pada blok ini, kami juga akan memasuki preklinik yang berarti kami harus mengasah sklill lab kami. Seperti blok stomatognasi, blok ini akan berlangsung selama 8 minggu.

Saya sendiri tetap berada di kelompok tutorial 6 dengan tutor selama blok ini yaitu drg. Dwi K. P., M.Kes.

Semoga di blok ini angkatan 2008 bisa tetap eksis dan ilmu yang didapat tidak sia-sia. (Jangan hanya kejar nilai, kejar ilmu juga) :)

Monday, April 6, 2009

Koronoplasti

(Tulisan ini berupa teori yang didapat selama kuliah dan tutorial blog stomatognatik. Sedangkan yang berupa tindakan langsung belum dipelajari dan belum dilakukan. XD)

Koronoplasti merupakan suatu upaya untuk mencapai oklusi yang optimal, yang sering juga disebut dengan occlusal adjustment (penyesuaian oklusal). Interferensi tonjol (cusp gigi yang tidak benar) dapat mengganggu gerak menutup atu mengunyah mandibula, dan mengganggu kontak bilateral pada sumbu retrusi.

Gangguan yang memerlukkan tindakan koronoplasti adalah gangguan kontak oklusi yang terdapat kontak prematur atau kontak berlebih, yaitu pada kondisi oklusi :
1. Retruded contact position (RCP)
Pada saat melakukan gerakan menutup mulut.
2. Intercuspal Contact Position (ICP)
Pada saat melakukan gerakan penelanan.
3. Protrusive contact position (PCP)
Pada saat menggerakan rahang bawah ke depan.
4. Working side contact position
Pada saat seseorang menggerakkan rahang bawah ke lateral (menjauhi garis tengah tubuh).
5. Non-working side contact position (Balancing side)
Pada saat seseorang menggerakkan rahang bawah ke lateral (mendekati garis tengah tubuh).
Selain itu juga dapat disebabkan oleh karena traumatik oklusi karena restorasi (overhanging restoration = melebihi oklusal asli), misalnya oleh karena tumpatan yang berlebih atau penggunaan gigi tiruan.

Penyesuaian oklusal ini dapat didefenisikan sebagai pengasahan daerah oklusal tertentu yang terencana guna memulihkan stabilitas mandibula ketika menutup dan guna menghilangkan interferensi dari dan ke Intercuspal Position (IP) dalam gerakan fungsi dan parafungsi. (Thomson, 2007: 203).


Tindakan koronoplasti ini dilakukan menggunakan articulating paper saat melakukan pemeriksaan protrusive movement dan lateral movement (terdiri dari working side dan balancing side). Articulating paper sendiri digigit selama pergerakan mandibula tersebut.








Setelang dilakukan tindakan, spot yang terlalu tebal disebut dengan kontak prematur. Dan terdapat aturan Schuyler (1935) yang merupakan bimbingan pertama bagi prosedur pengasahan, yaitu : Jika tonjol tidak membuat kontak prematur pada gerakan protrusif dan lateral, asalah fossa. Dan jika tonjol membuat kontak pada gerakan tersebut, asalah tonjol.
Selanjutnya, dicari pula balance centric occlusion (centric stop). Centric stop ini tidak boleh diasah lagi pada saat penyesuaian oklusi dan tanda-tanda prematur kontak bertumpuk dengan centric stop yang boleh dilakukan pengasahan.
Begitu selesai pengasahan, perlu ditambahkan fluor protector agar gigi tidak terasa linu.

Penyesuaian oklusi dengan tindakan koronoplasti juga merupakan tindakan yang kontroversial karena sifatnya yang irreversible (tidak bisa kembali). Tetapi prosedur ini telah diakui untuk perawatan disfungsi mandibula yang aktivitas pergeseran mandibulanya telah terdiagnosa.



Daftar Pustaka :
Thomson, Hamish. 2007. Oklusi Edisi 2. Jakarta: EGC
(Handout kuliah drg. Gunadi dan kuliah dari drg. Dewi K. :D)

KESESUAIAN FUNGSI PENGUNYAHAN

Kesesuaian fungsi kunyah merupakan keseimbangan dan keharmonisan antara komponen sistem pengunyahan, baik gigi-geligi, otot, dan sendi temporomandibula (STM) yang semuanya berfungsi dengan baik. Dari sini akan dibahas tentang kesesuaian oklusi gigi-geligi, kesesuaian gerakan TMJ dan otot mastikasi.


Posisi dan oklusi gigi berperan penting dalam mengunyah dan menelan. Oklusi dapat diartikan sebagai kontak antara gigi-geligi secara langsung yang saling berantagonis dari satu rangkaian gerakan mandibula. Didasarkan pada keadaan mandibula, hubungan oklusi dan mandibula dapat dibagi menjadi dua, yaitu posisi non-oklusal dari mandibula dan posisi oklusal mandibula.

1. Posisi Non-Oklusal dari Mandibula (Oklusi Dinamis)
a. Posisi Istirahat (Posisi Postural Endogen)
Posisi ini merupakan posisi ketika otoot yang mengontrol posisi mandibula berada dalam keadaan relaks. Keadaan ini dianggap dikendalikan oleh mekanisme refleks yang dipicu oleh reseptor regangan pada otot mastikasi, khususnya otot temporal. Pada posisi ini terdapat celah beberapa milimeter antara gigi-gigi atas dan bawah yang disebut sebagai free way space (jarak antaroklusal). Variasi sehari-hari dari posisi istirahat terlihat bersama variasi postur kepala (misalnya : kepala didongakkan ke belakang maka jarak antaroklusal meningkat, sedangkan bila kepala dicondongkan ke depan menyebabkan jarak antaroklusal berkurang).
b. Posisi Postural Adaptif
Terjadi pula posisi yang berbeda pada waktu istirahat yang disebut sebagai posisi postural adaptif. Disebut postural adaptif dikarenakan respon tidak sadar terhadap kebutuhan, yaitu :
- Untuk mempertahankan seal oral anterior (menutup jalan udara), yaitu dengan cara palatum lunak menyentuh lidah dan seal oral anterior, yaitu bibir berkontak dan lidah menyentuh gigi-gigi anterior.
- Untuk mendapatkan pernafasan mulut, sehingga diperlukan posisi postural yang berubah dari mandibula, dengan mandibula diturunkan dan jarak antaroklusal yang meningkat berlebihan.

2. Posisi Oklusal Mandibula (Oklusi Statis)
a. Posisi Kontak Retrusi (Relasi Sentrik)
Hubungan mandibula terhadap maksila, yang menunjukkan posisi mandibula terletak 1-2 mm lebih ke belakang dari oklusi sentris (mandibula terletak paling posterior dari maksila) atau kondil terletak paling distal dari fossa glenoid, tetapi masih dimungkinkan adanya pergerakkan dalam arah lateral.
n.b.: di dalam posisi ini sudah terdapat oklusi sentrik
b. Posisi Interkuspal (Oklusi Sentrik)
Posisi kontak maksimal dari gigi-geligi pada waktu mandibula dalam keadaan sentrik, yaitu kedua kondil berada dalam posisi bilateral simetris di dalam fossanya. Sentris atau tidaknya posisi mandibula ini sangat ditentukkan oleh panduan yang diberikkan oleh kontak antara gigi pada saat pertama berkontak. Keadaan ini akan mudah berubah bila terdapat gigi supra-posisi ataupun overhanging restoration.


Otot-otot mastikasi dan orofasial serta fungsi sistem saraf yang mengontrolnya berperilaku sesuai dengan pola endogen dan memberi respons terhadap banyak sekali rangsangan untuk menyediakan gerakan yang diperlukkan oleh sistem. Oklusi gigi geligi (O) dapat dinyatakan sebagai produk permukaan oklusal gigi-gigi (T = teeth), aktivitas otot (M = muskuli), dan gerakan yang dimungkinkan oleh adanya sendi mandibula (J = joint), sehingga didapatkan rumus O=TMJ. Tetapi, rumus ini terlalu sederhana mengingat ada suatu aksi yang rumit dan seringkali bersifat refleks.
Semua otot mastikasi dalam keadaan berfungsi (kontraksi maupun relaksasi) pada semua gerakan mandibula. Otot-otot mastikasi terdapat berpasangan di kedua sisi (bilateral) dan setiap otot berjalan ke arah yang berlawanan dan ketinggian yang berbeda sehingga variasi gerakan dapat saja terjadi. Secara garis besar, otot-otot mastikasi ini dibagi menjadi otot-otot penutup rahang dan otot pembuka rahang. Otot-otot penutup rahang yaitu M. Temporalis, M. Masseter, dan M. Pterygoideus Medialis. Sedangkan otot pembuka rahang yaitu M. Pterygoideus Lateralis. Tentang letak origo dan insersionya dapat dibaca pada buku-buku teks anatomi standar. Ketika rahang membuka, otot pembuka rahang akan berkontraksi dan otot-otot penutup rahang akan berelaksasi, demikian sebaliknya bila rahang menutup. Keadaan kontraksi dan relaksasi otot-otot tersebut memperjelas pandangan bahwa semua otot ikut terlibat dalam gerak mandibula.



Daftar Pustaka
Foster, T.D. 1997. Buku Ajar Ortodonsi Edisi 3. Jakarta: EGC
Hamzah, Zahreni drg, dkk. 2009. Buku Petunjuk Praktikum Fisiologi Blog Stomatognatik. Jember: Unej
Thomson, Hamish. 2007. Oklusi Edisi 2. Jakarta: EGC